Jumat, 26 November 2010

4. Etika dalam auditing (Independensi, Tanggung Jawab auditor, KAP)

Nama : Anil Amrosi
NPM : 21207261
Kelas : 4EB08

ETIKA PROFESI SEORANG AUDITOR

Sunday, 04 April 2010 11:42

DEFINISI ETIKA
Secara garis besar etika dapat didefinisikan sebagai serangkaian prinsip atau nilai moral yang dimiliki oleh setiap orang. Dalam hal ini kebutuhan etika dalam masyarakat sangat mendesak sehingga sangatlah lazim untuk memasukkan nilai-nilai etika ini ke dalam undang-undang atau peraturan yang berlaku di negara kita. Banyaknya nilai etika yang ada tidak dapat dijadikan undang-undang atau peraturan karena sifat nilai-nilai etika sangat tergantung pada pertimbangan seseorang.
PRINSIP-PRINSIP ETIKA
Prinsip etika seorang auditor terdiri dari enam yaitu pertama rasa tanggung jawab (responsibility) mereka harus peka serta memiliki pertimbangan moral atas seluruh aktivitas yang mereka lakukan. Kedua kepentingan publik, auditor harus menerima kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa agar dapat melayani kepentingan orang banyak, menghargai kepercayaan publik, serta menunjukan komitmennya pada profesionalisme. Ketiga Integritas, yaitumempertahankan dan memperluas keyakinan publik. Keempat Obyektivitas dan Indepensi, auditor harus mempertahankan obyektivitas dan terbebas dari konflik antar kepentingan dan harus berada dalam posisi yang independen. Kelima Due care, seorang auditor harus selalu memperhatikan standar tekhnik dan etika profesi dengan meningkatkan kompetensi dan kualitas jasa, serta melaksanakan tanggung jawab dengan kemampuan terbaiknya. Keenam Lingkup dan sifat jasa, auditor yang berpraktek bagi publik harus memperhatikan prinsip-prinsip pada kode etik profesi dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang disediakannya.
DILEMA ETIKA SEORANG AUDITOR
Setiap profesi pasti pernah mengalami dilema etika. Dilema etika merupakan situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia merasa bingung untuk mengambil suatu keputusan tentang perilaku apa yang seharusnya dilakukan. Banyak alternatif untuk menyelesaikan dilema-dilema etika, hanya saja diperlukan suatu perhatian khusus dari tiap individu untuk menghindari rasionalisasi tindakan-tindakan yang kurang atau bahkan tidak etis.
PEMBELAJARAN UNTUK PARA AUDITOR DI INDONESIA
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi..Banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya, pemerintah Indonesia mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.

Artikel ini jg dapat dilihat di http:// http://wartawarga.gunadarma.ac.id/
*Referensi : http://kartikatriperwirasari.ngeblogs.com/etika-profesi-akuntansi/







Jurnal Internal Auditor dan Dilema Etika
1. Latar belakang
Tema tentang independensi dan etika dalam profesi akuntan memiliki
pemahaman yang sangat penting dan mendalam. Sorotan masyarakat terhadap
profesi akuntan sangatlah besar sebagai dampak beberapa skandal perusahaan
besar dunia seperti Enron dan WorldCom yang melibatkan para akuntan (Largay
III, 2002; Verrechia, 2003).
Finn et.al. (1988) dan Bazerman et.al. (1997) menyatakan bahwa akuntan
seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan
memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta untuk tetap
independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung
kepada klien karena fee yang diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada
dalam situasi dilematis. Hal ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak
sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik audit (Tsui, 1996;
Tsui dan Gul, 1996). Konflik audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilema
etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang bertentangan dengan
independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi
atau tekanan di sisi lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995). Auditor secara sosial
juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada
mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan
ekonomis semata. Situasi seperti hal tersebut di atas sangat sering dihadapi oleh
auditor. Auditor seringkali dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam
pengambilan keputusannya (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996; Larkin, 2000;
Dillard dan Yuthas, 2002).
Auditing internal adalah sebuah fungsi penilaian independen yang
dijalankan di dalam organisasi untuk menguji dan mengevaluasi sistem
pengendalian internal organisasi. Kualitas auditing internal yang dijalankan akan
berhubungan dengan kompetensi dan obyektivitas dari staf internal auditor
organisasi tersebut (Adams, 1994; Bou-Raad, 2000). Sebagai pekerja, internal
auditor mendapatkan penghasilan dari organisasi di mana dia bekerja, hal ini
berarti internal auditor sangat bergantung kepada organisasinya sebagai pemberi
kerja. Di lain pihak, internal auditor dituntut untuk tetap independen sebagai
bentuk tanggungjawabnya kepada publik dan profesinya (Abdolmohammadi dan
Owhoso, 2000; Windsor; 2002). Di sini konflik audit muncul ketika auditor
internal menjalankan aktivitas auditing internal. Internal auditor sebagai pekerja di
dalam organisasi yang diauditnya akan menjumpai masalah ketika harus
melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penilaian
kinerja manajemen atau obyek audit yang dilakukannya. Ketika manajemen atau
subyek audit menawarkan sebuah imbalan atau tekanan kepada internal auditor
untuk menghasilkan laporan audit yang diinginkan oleh manajemen maka menjadi
dilema etika. Untuk itu auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang
terkait dengan hal-hal keputusan etis dan tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino,
1986; Jones, 1991). Kemampuan dalam mengidentifikasi dan melakukan perilaku
etis atau tidak etis adalah hal yang mendasar dalam profesi akuntan. Internal
auditor juga tidak terlepas dari masalah bagaimana membuat keputusan etis.
Internal auditor sebagai karyawan mempunyai tanggung jawab kepada organisasi.di mana dia bekerja, tetapi sebagai seorang akuntan profesional dia harus
bertanggunjawab kepada profesinya, kepada masyarakat dan dirinya sendiri untuk
berkelakuan etis yang baik. Kemampuan internal auditor untuk membuat
keputusan yang akan diambil ketika menghadapi situasi dilema etika akan sangat
bergantung kepada berbagai hal, karena keputusan yang diambil oleh internal
auditor juga akan banyak berpengaruh kepada organisasi dan konstituen di mana
dia berada (Arnold dan Ponemon, 1991). Internal auditor secara terus menerus
dihadapkan pada situasi dilema etika yang melibatkan pilihan-pilihan antara nilainilai
yang saling bertentangan. Manajemen dapat mempengaruhi proses
pemeriksaan yang dilakukan oleh internal auditor. Manajemen dapat menekan
internal auditor untuk melanggar standar pemeriksaan, tetapi internal auditor juga
terikat kepada etika profesi dan mempunyai tanggungjawab sosial, maka auditor
berada dalam situasi yang dilematis. Memenuhi tuntutan manajemen berarti
melanggar standar dan etika profesi, namun di lain pihak, jika tidak memenuhi
tuntutan tersebut kemungkinan dapat menghasilkan sanksi atas diri internal
auditor.
Faktor determinan penting dalam perilaku pengambilan keputusan etis
adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat
keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan
pengembangan masing-masing individu (Ford dan Richardson, 1994; Loe et.al.,
2000; Larkin, 2000; Paolillo & Vitell, 2002). Faktor-faktor individual tersebut
meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender,
umur, kebangsaan dan sebagainya), sedangkan faktor-faktor lainnya adalah faktor
organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.

2. Perumusan Masalah
Penelitian ini ingin mengembangkan hasil penelitian Zeigenfuss dan
Singhapakdi (1994) serta penelitian Douglas, Davidson dan Schwartz (2001)
tentang internal auditor dalam pengambilan keputusan etis (ethical decision
making). Permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimanakah pengaruh
pengalaman audit, komitmen profesional, orientasi etika dan nilai etika organisasi
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik pengalaman audit,
komitmen profesional, orientasi etika dan nilai etika organisasi berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan masukan mengenai
implikasi pengalaman audit, komitmen profesional, orientasi etika dan nilai etika
organisasi terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi
dilema etika.

4. Kerangka Teori
4.1 Konflik Audit dan Dilema Etika
Banyak pihak yang berkepentingan di dalam sebuah organisasi bisnis.
Investor yang menanamkan dananya ke dalam perusahaan atau kreditur yang
meminjamkan dananya, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
laporan keuangan perusahaan tidak terbatas kepada manajemen saja, tetapi meluas
kepada investor dan kreditor serta calon investor dan calon kreditur. Para pihak
tersebut memerlukan informasi mengenai perusahaan, sehingga seringkali ada duapihak yang berlawanan dalam situasi ini. Di satu pihak, manajemen perusahaan
ingin menyampaikan informasi mengenai pertanggunjawaban pengelolaan dana
yang berasal dari pihak luar, di lain pihak, pihal eksternal ingin memperoleh
informasi yang andal dari manajemen perusahaan. Profesi akuntan timbul untuk
memberikan informasi yang terpercaya bagi kedua belah pihak dalam situasi
seperti ini.
Kode etik yang digunakan oleh para profesional beranjak dari bentuk
pertanggunjawaban profesi kepada masyarakat. Akuntan sebagai sebuah profesi
juga tidak terlepas dari pertanggungjawaban kepada masyarakat. Damman (2003)
menyatakan bahwa sebenarnya akuntan di dalam aktivitas auditnya banyak hal
yang harus dipertimbangkan, karena dalam diri auditor mewakili banyak
kepentingan yang melekat dalam proses audit (built-in conflict of interest).
Seringkali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam
konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996).
Konflik dalam sebuah audit akan berkembang pada saat auditor
mengungkapkan informasi tetapi informasi tersebut oleh klien tidak ingin
dipublikasikan kepada umum. Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika
ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi dan
integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi di sisi lainnya
(Windsor dan Askhanasy, 1995). Karena auditor seharusnya secara sosial juga
bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan
kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis
semata, sehingga seringkali auditor dihadapkan kepada masalah dilema etika
dalam pengambilan keputusannya.
Situasi dilema menurut Gunz, Gunz dan McCutcheon (2002) adalah
“situations in which professional must choose between two or more
relevant, but contradictory, ethical directives, or when every alternative
results in an undesirable outcome for one or more persons”
Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor
berada dalam situasi pengambilan keputusan yang terkait dengan keputusannya
yang etis atau tidak etis. Situasi tersebut terbentuk karena dalam konflik audit ada
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor sehingga auditor
daihadapkan kepada pilihan keputusan etis dan tidak etis.
4.2 Pengambilan Keputusan Etis (Ethical Decision Making)
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino,
1986; Jones, 1991). Beberapa review tentang penelitian etika (Ford dan
Richardson, 1994; Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997; Loe et.al., 2000;
Paolillo & Vitell, 2002) mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang
pengambilan keputusan etis. Mereka menyatakan bahwa salah satu determinan
penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik
berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing
individu. Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabel-variabel yang
merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan
sebagainya). Sedangkan faktor-faktor lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan
kerja, profesi dan sebagainya.
Penelitian tentang pengambilan keputusan etis, telah banyak dilakukan
dengan berbagai pendekatan mulai dari psikologi sosial dan ekonomi. Beranjak dari berbagai hasil penelitian tersebut kemudian dikembangkan dalam paradigma
ilmu akuntansi. Louwers, Ponemon dan Radtke (1997) menyatakan pentingnya
penelitian tentang pengambilan keputusan etis dari pemikiran dan perkembangan
moral (moral reasoning and development) untuk profesi akuntan dengan 3 alasan,
yaitu pertama, penelitian dengan topik ini dapat digunakan untuk memahami
tingkat kesadaran dan perkembangan moral auditor dan akan menambah
pemahaman tentang bagaimana perilaku auditor dalam menghadapi konflik etika.
Kedua, penelitian dalam wilayah ini akan lebih menjelaskan problematika proses
yang terjadi dalam menghadapi berbagai pengambilan keputusan etis auditor yang
berbeda-beda dalam situasi dilema etika. Ketiga, hasil penelitian ini akan dapat
membawa dan menjadi arahan dalam tema etika dan dampaknya pada profesi
akuntan.
Beberapa model penelitian etis seringkali hanya mendeskripsikan
bagaimana proses seseorang mengambil keputusan yang terkait dengan etika
dalam situasi dilema etika (Jones, 1991; Trevino, 1986). Sebuah model
pengambilan etis tidak berada kepada pemahaman bagaimana seharusnya
seseorang membuat keputusan etis (ought to do), namun lebih kepada pengertian
bagaimana proses pengambilan keputusan etis itu sendiri. Alasannya adalah
sebuah pengambilan keputusan akan memungkinkan menghasilkan keputusan
yang etis dan keputusan yang tidak etis, dan memberikan label atau
mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut etis atau tidak etis akan mungkin
sangat menyesatkan (McMahon, 2002).
Rest (dalam dalam Zeigenfuss dan Martison, 2002) menyatakan bahwa
model pengambilan keputusan etis terdiri dari 4 (empat tahapan), yaitu pertama
pemahaman tentang adanya isu moral dalam sebuah dilema etika (recognizing
that moral issue exists). Dalam tahapan ini menggambarkan bagaimana tanggapan
seseorang terhadap isu moral dalam sebuah dilema etika. Kedua adalah
pengambilan keputusan etis (make a moral judgment), yaitu bagaimana seseorang
membuat keputusan etis. Ketiga adalah moral intention yaitu bagaimana
seseorang bertujuan atau bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak etis.
Sedangkan keempat adalah moral behavior, yaitu bagaimana seseorang bertindak
atau berperilaku etis atau tidak etis.
Jones (1991) menyatakan ada 3 unsur utama dalam pengambilan keputusan
etis, yaitu pertama, moral issue, menyatakan seberapa jauh ketika seseorang
melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan itu, maka akan
mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam
bahasa yang lain adalah bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan
mempunyai konsekuensi kepada orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu
seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision). Ketiga adalah
keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara
legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Jones, 1991)
Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering
disebut juga kesadaran moral (moral reasoning, moral judgment, moral thinking),
merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral dalam pengambilan
keputusan etis, sehingga untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya
hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang
benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat
pada kesadaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat kesadaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral
tersebut (Jones, 1991).
Trevino (1986) menyusun sebuah model pengambilan keputusan etis
dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah merupakan sebuah interaksi
antara faktor individu dengan faktor situasional (person-situation interactionist
model). Dia menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis seseorang akan
sangat tergantung kepada faktor-faktor individu (individual moderators) seperti
ego strength, field dependence, and locus of control dan faktor situasional seperti
immediate job context, organizational culture, and characteristics of the work.
Model yang diajukan Trevino (1986) dapat jelaskan yaitu, ketika seseorang
dihadapkan pada sebuah dilema etika maka individu tersebut akan
mempertimbangkannya secara kognitif dalam benaknya. Hal ini searah dengan
pernyataan Jones (1991) tentang moral issue yang ada dalam dilema etika tersebut
bahwa kesadaran kognitif moral seseorang akan sangat tergantung kepada level
perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Arnold dan Sutton, 1997).
Pembentukan pemahaman tentang moral issue tersebut akan tergantung kepada
faktor individual (pengalaman, orientasi etika dan komitmen kepada profesi) dan
faktor situasional (nilai etika organisasi).
Berdasarkan model dari Trevino (1986) tersebut maka dalam penelitian ini
akan diuji sebuah person-situation interactionist model untuk internal auditor.
Faktor yang dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan etis internal
auditor ketika menghadapi dilema etika adalah faktor individual yaitu
pengalaman, komitmen profesional serta orientasi etika auditor dan faktor
situasional yaitu nilai etika organisasi.
Sasongko Budi | www.theAkuntan.Com | halaman 11
4.3 Pengalaman Kerja Auditor
Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam
memprediksi kinerja auditor (Sularso dan Na’im, 1999; Bonner, 1990; Davis,
1997; Jeffrey, 1992). Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan
bertambahnya pengalaman audit, diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja,
pengawasan dan review oleh akuntan senior, mengikuti program pelatihan dan
penggunaan standar auditing.
Kidwell, Stevens dan Bethke (1987) melakukan penelitian tentang perilaku
manajer dalam menghadapi situasi dilema etika, hasil penelitiannya adalah bahwa
manajer dengan pengalaman kerja yang lebih lama mempunyai hubungan yang
positif dengan pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian ini juga didukung
oleh penelitian Larkin (2000) dan Glover et.al. (2002). Larkin (2000) melakukan
penelitian yang melibatkan internal auditor di lembaga keuangan dan menyatakan
bahwa internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih konservatif dalam
menghadapi situasi dilema etika. Glover et.al. (2002) melakukan penelitian pada
beberapa mahasiswa program bisnis dan menyatakan bahwa mahasiswa yang
senior lebih berperilaku etis dibandingkan dengan yang lebih yunior.
Kalbers dan Fogarty (1995) dalam penelitiannya tentang internal auditor
menyatakan ada hubungan antara pengalaman kerja dengan profesionalisme dan
afiliasi terhadap komunitasnya (community affiliation). Meskipun hasil penelitian
tersebut hanya menunjukkan bukti yang terbatas, alasan ini dimungkinkan karena
untuk menguatkan komitmen profesional seorang auditor perlu waktu dalam
keterlibatannya untuk menjadi bagian dan menerima manfaat sebagai bagian dari
sebuah komunitas profesinya.
4.4 Komitmen Profesional
Komitmen profesional diartikan sebagai intensitas identifikasi dan
keterlibatan individu dengan profesinya. Identifikasi ini membutuhkan beberapa
tingkat kesepakatan antara individu dengan tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam
profesi termasuk nilai moral dan etika. Definisi komitmen profesional banyak
digunakan dalam literatur akuntansi adalah sebagai: 1) suatu keyakinan dan
penerimaan tujuan dan nilai-nilai di dalam organisasi profesi 2) kemauan untuk
memainkan peran tertentu atas nama organisasi profesi 3) gairah untuk
mempertahankan keanggotaan pada organisasi profesi (Jeffrey dan Weatherholt,
1996).
Jeffrey dan Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen
profesional, pemahaman etika dan sikap ketaatan terhadap aturan. Hasilnya
menunjukkan bahwa akuntan dengan komitmen profesional yang kuat maka
perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan
dengan akuntan dengan komitmen profesional yang rendah. Namun riset ini
belum menunjukkan bagaimana komitmen profesi dan orientasi etika
berhubungan dengan perilaku akuntan dalam situsai dilema etika. Khomsiyah dan
Indriantoro (1998) mengungkapkan juga bahwa komitmen profesional
mempengaruhi sensitivitas etika auditor pemerintah yang menjadi sampel
penelitiannya. Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi
keyakinan dan nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi
mempengaruhi integritas dan independensi auditor.
4.5 Orientasi Etika
Sasongko Budi | www.theAkuntan.Com | halaman 13
Orientasi etika (ethical orientation atau ethical ideology) berarti mengenai
konsep diri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri
seseorang. Cohen et. al. (1995 dan 1996) dan Finegan (1994) menyatakan bahwa
setiap orientasi etika individu, pertama-tama ditentukan oleh kebutuhannya.
Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai
individu yang akan menentukan harapan atau tujuan dalam setiap perilakunya
sehingga pada akhirnya individu tersebut menentukan tindakan apa yang akan
diambilnya.
Orientasi Etika menurut Forsyth (dalam Barnett, Bass dan Brown, 1994)
dioperasionalisasikan sebagai kemampuan individu untuk mengevaluasi dan
mempertimbangkan nilai etika dalam suatu kejadian. Orientasi etika menunjukkan
pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu ketika menghadapi situasi
masalah yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika.
Kategori orientasi etika yang dibangun oleh Forsyth (1992) menyatakan
bahwa manusia terdiri dari dua konsep yaitu idealisme versus pragmatisme, dan
relativisme versus nonrelativisme yang ortogonal dan bersama-sama menjadi
sebuah ukuran dari orientasi etika individu.
Idealisme menunjukkan keyakinan bahwa konsekuensi sebuah keputusan
yang diinginkan dapat diperoleh tanpa melanggar nilai-nilai luhur moralitas.
Dimensi ini dideskripsikan sebagai sikap individu terhadap suatu tindakan dan
bagaimana tindakan itu berakibat kepada orang lain. Individu dengan idealisme
yang tinggi percaya bahwa tindakan yang etis seharusnya mempunyai
konsekuensi yang positif dan selalu tidak akan berdampak atau berakibat
merugikan kepada orang lain sekecil apapun (Barnett, Bass dan Brown, 1994). Dilain pihak, pragmatisme mengakui hasil keputusan adalah yang utama dan jika
perlu mengabaikan nilai-nilai moralitas untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih besar. Dalam kaitan dengan ini maka internal auditor yang mempunyai
idealisme yang tinggi akan selalu bekerja dengan cermat dan profesional dan ini
berarti internal auditor dengan orientasi etika yang idealis akan berperilaku lebih
etis dalam menghadapi dilema etika.
Konsep relativisme menunjukkan perilaku penolakan terhadap kemutlakan
aturan-aturan moral yang mengatur perilaku individu yang ada. Orientasi etika ini
mengkritik penerapan prinsip-prinsip aturan moral yang universal. Relativisme
menyatakan bahwa tidak ada sudut pandang suatu etika yang dapat diidentifikasi
secara jelas merupakan ‘yang terbaik’, karena setiap individu mempunyai sudut
pandang tentang etika dengan sangat beragam dan luas. Kebalikannya, orientasi
etika non-relativisme (atau absolutisme) menunjukkan pengakuan adanya prinsipprinsip
moral dengan kewajiban-kewajiban yang mutlak.
Shaub, Finn dan Munter (1993) dalam penelitiannya tentang sensitivitas
etika auditor, meneliti hubungan orientasi etika auditor dengan komitmen
profesional auditor. Mereka menyatakan bahwa individu yang mempunyai
idealisme secara otomatis akan memelihara tatacara pekerjaannya sesuai dengan
standar profesional, sehingga standar profesional tersebut akan menjadi arahan
dalam bekerja. Hal ini akan searah dengan konsep non-relativisme yang
menyatakan tingkat absolutisme yang tinggi. Tujuan utama akuntan sebagai
sebuah profesi audit adalah juga termasuk menghindari kerugian yang diterima
oleh pengguna laporan keuangan, sehingga seorang auditor yang memiliki
orientasi etika idealis akan selalu merujuk kepada tujuan dan arahan yang ada
pada standar profesionalnya.
Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan penelitian tentang persepsi
etis dan nilai-nilai individu terhadap anggota Institute of Internal Auditor. Mereka
menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor mempunyai hubungan positif
dengan perilaku pengambilan keputusan etis. Internal auditor dengan skor
idealisme yang tinggi akan cenderung membuat keputusan yang secara absolut
lebih bermoral (favor moral absolute) dan sebaliknya.
4.6 Nilai Etika Organisasi
Nilai etika organisasi (corporate ethical value) adalah sebuah sistem nilainilai
etis yang ada di dalam organisasi. Sistem nilai ini dihasilkan dari proses
akulturisasi dari berbagai nilai-nilai yang ada, baik yang berasal dari di dalam
maupun dari luar organisasi. Nilai etika organisasi, atau lebih spesifik, lingkungan
etika di dalam organisasi, terbuat dari berbagai praktek yang dijalankan oleh
manajemen beserta nilai-nilai yang menyertainya (espoused values). Nilai etika
organisasi sebagai komponen utama kultur organisasi merupakan acuan yang
mangarahkan anggota-anggota organisasi dalam menghadapi lingkungan internal
maupun eksternalnya yang terbentuk dari nilai-nilai etika individual dari
manajemen baik formal maupun informal terhadap situasi etika di dalam
organisasi (Hunt et.al., 1989).
Nilai etika organisasi dapat digunakan untuk menetapkan dan sebagai
patokan dalam menggambarkan apa-apa yang dikerjakan merupakan hal yang
‘baik’ atau ‘etis’ dan hal yang ‘tidak baik’ atau ‘tidak etis’ dalam organisasi. Hunt
et.al. (1989) juga menyatakan bahwa nilai etika organisasi adalah sebuah derajat pemahaman organisasi tentang bagaimana organisasi bersikap dan bertindak
dalam menghadapi isu-isu etika. Hal ini meliputi tingkat persepsi 1) bagaimana
para pekerja menilai manajemen dalam bertindak menghadapi isu etika di dalam
organisasinya 2) bagaimana para pekerja menilai bahwa manajemen memberi
perhatian terhadap isu-isu etika di dalam organisasinya dan 3) bagaimana para
pekerja menilai bahwa perilaku etis (atau tidak etis) akan diberikan imbalan
(hukuman) di dalam organisasinya. Douglas, Davidson dan Schwartz (2001)
menyatakan bahwa nilai etika organisasi mempunyai hubungan yang positif
dengan nilai kepribadian individu.

5. Model dan Hipotesis Penelitian
Konflik audit muncul ketika auditor internal menjalankan aktivitas auditing
internal. Internal auditor sebagai pekerja di dalam organisasi yang diauditnya akan
menjumpai masalah ketika harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak
menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau obyek audit yang
dilakukannya. Konflik terjadi ketika auditor dan auditee tidak sepakat terhadap
beberapa aspek fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam keadaan ini, auditee dapat
mempengaruhi proses audit yang dilakukan oleh auditor internal. Auditee dapat
menekan auditor internal untuk melakukan tindakan yang melanggar standar
pemeriksaan. Untuk itu auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang
saling berlawanan terkait dengan aktivitas pemeriksaannya. Karena auditor secara
profesional dilandasi oleh kode etik profesi dan standar pemeriksaan, maka
auditor berada dalam sebuah dilema etika. Memenuhi tuntutan auditee berarti
melanggar standar pemeriksaan dan kemungkinan mendapatkan imbalan manfaat,
namun dengan tidak memenuhi tuntutan auditee akan mendapatkan tekanan, baik
berupa penghentian penugasan, pemecatan dan kemungkinan sanksi lainnya.
Internal auditor dihadapkan kepada pilihan pengambilan keputusan etis atau tidak
etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino,
1986; Jones, 1991). Dengan mengadaptasi model yang diajukan oleh Trevino
(1986), maka proses pengambilan etis dalam situasi dilema etika yang dialami
oleh auditor internal.Model Konseptual
Konflik
Audit
Situasi
DilemaEtika
Pengambilan
Keputusan
Etis
Faktor Situasional
Nilai EtikaOrganisasi
Faktor Individual
PengalamanKerja
Orientasi Etika
Komitmen Professional
Konflik audit kemungkinan akan berkembang menjadi sebuah dilema
etika ketika internal auditor diharuskan melakukan pilihan-pilihan pengambilan
keputusan etis dan tidak etis. Dalam proses tersebut faktor determinan penting
dalam perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik
berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing
individu, yaitu pengalaman, orientasi etika dan komitmen profesional serta faktor
situasional yaitu nilai etika organisasi.
Dari kerangka teori dan model konseptual di atas maka dibuat model dan
hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut pada
Gambar 2
Model dan Hipotesis Penelitian
Nilai Etika
Organisasi
Orientasi Etika
Komitmen
Profesional
Pengalaman
Kerja
Pengambilan
Keputusan Etis
H1
H2
H3
H4
H5
Shaub, Finn & Munter (1993)
Jeffrey & Weatherholt (1996)
Douglas, Davidson & Schwartz (2001)
Zeigenfuss & Singhapakdi (1994)
Windsor & Ashkanasy (1995)
Khomsiyah & Nurindriantoro (1998)
Golver et.al. (2002)
Larkin (2000)
Kidwell, Stevens & Bethke (1987)
Kalbers dan Fogarty (1995) H6
Sedangkan hipotesis dari masing-masing kausalitas dalam model yang akan
diuji dideskripsikan sebagai berikut:
H1 : Nilai etika organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap orientasi
etika internal auditor.
H2: Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pengambilan keputusan etis internal auditor
H3: Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap
komitmen profesional internal auditor
H4: Komitmen profesional internal auditor mempunyai pengaruh yang positif
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor
H5: Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor.
H6: Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap komitmen profesional internal auditor.

6. Kesimpulan
Berdasarkan pembuktian empiris terhadap model konseptual yang disusun
di awal penelitian maka dapat diberikan kesimpulan umum bahwa nilai etika
organisasi, orientasi etika dan komitmen profesional secara individu maupun
simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan
etis internal auditor dalam situasi dilema etika. Nilai etika organisasi sebagai
faktor situasional individu mempunyai pengaruh yang dignifikan terhadap
orientasi etika internal auditor. Orientasi etika auditor mempunyai pengaruh yang
positif terhadap komitmen profesi, dan kemudian secara bersama-sama keduanya
mempunyai hubungan positif dengan pengambilan keputusan etis internal auditor
dalam situasi dilema etika. Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh
pengalaman kerja dalm hubungannya dengan komitnen profesional maupun
pengambilan keputusan etis.






PENGEMBANGAN MODEL AUDIT SISTEM
INFORMASI BERBASIS KENDALI
Gede Karya
Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Katholik Parahyangan, Bandung
E-mail : gkarya@home.unpar.ac.id
Intisari
Makalah ini membahas pengembangan model audit sistem informasi berbasis
kendali untuk mencegah terjadinya kegagalan sistem informasi guna
menyelamatkan aset informasi, menjaga integritas data dan meningkatkan efisiensi
dan efektifitas pencapaian tujuan suatu organisasi. Model ini dikembangkan
berdasarkan konsep fungsional dan kendali sistem informasi dengan menggunakan
sistem penilaian kualitatif berbasis standar manajemen mutu ISO 9001-2000.
Kata kunci: sistem informasi, audit, kendali, penilaian kualitatif, ISO 9001-2000.
Abstract
This peper discuss about model development of control based information system
audit to prevent information system’s failure of asset safeguard, keep data integrity
and improve effectivity and efficiency of organization’s goal. This model is
developed based on information system functionality concept and control, with
qualitative mesuaremet system based on ISO 9001-2000 quality management
standar.
Key Word: information system, audit, control, qualitative measurement, ISO 9001-2000.
Diterima : 27 Februari 2004
Disetujui untuk dipublikasikan : 16 Maret 2004
1. Pendahuluan
Informasi merupakan salah satu sumber daya
strategis suatu organisasi, oleh karena itu,
untuk mendukung tercapainya visi dan misi
suatu organisasi, pengelolaan informasi
menjadi salah satu kunci sukses.
Sistem informasi merupakan salah satu sub
sistem organisasi untuk mengelola informasi.
Saat ini sistem informasi dioperasikan oleh
hampir seluruh sumber daya manusia suatu
organisasi sehingga tidak dapat dipisahkan
dengan operasi dan kehidupan organisasi.
Teknologi informasi merupakan komponen
penting dari sistem informasi, selain data/
informasi, sumber daya manusia dan
organisasi. Teknologi informasi yang
dimaksud adalah teknologi telematika,
telekomunikasi dan informatika, yang
mencakup teknologi komputer (perangkat
keras, perangkat lunak) dan didukung dengan
teknologi telekomunikasi, khususnya
komunikasi data digital sebagai infrastruktur
dari jaringan komputer.
Perlu teknik untuk mengendalikan dan
memastikan bahwa sistem informasi sudah
sesuai dengan tujuan organisasi. Audit sitem
informasi merupakan suatu cara untuk menilai
sejauh mana suatu sistem informasi telah
mencapai tujuan organisasi.
Penelitian ini ditujukan untuk mencari model
untuk mengaudit sistem informasi berbasis
kendali. Model yang dikembangkan
mencakup: (1) konsep struktur/ kerangka dan
prosedur pelaksanaan audit, (2) materi/ isi
INTEGRAL, Vol. 9 No. 1, Maret 2004
52
yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk
penilaian dan (3) perangkat lunak bantu ISAR
yang memudahkan dokumentasi dan
pengolahan hasil audit. Pada makalah ini akan
diuraikan konsep struktur/ kerangka dan
prosedur audit sistem informasi saja, dua
bagian lainnya akan disampaikan pada
makalah terpisah.
2. Audit Sistem Informasi Berbasis
Kendali
2.1. Audit Sistem Informasi
Sistem informasi [1] adalah sekumpulan
komponen yang saling berhubungan yang
mengumpulkan (collect/ retrieve), memproses,
menyimpan dan mendistribusikan informasi
untuk mendukung pembuatan keputusan dan
pengendalian suatu organisasi.
Informasi adalah data yang telah diolah
menjadi bentuk yang bermakna dan
bermanfaat bagi pemakai.
Data adalah fakta yang menyatakan suatu
kejadian atau lingkungan fisik yang belum
dikelola menjadi bentuk yang bermakna dan
bermanfaat bagi manusia.
Audit sistem informasi didefinisikan sebagai
proses pengumpulan dan evaluasi fakta/
evidence untuk menentukan apakah suatu
sistem informasi telah melindungi aset,
menjaga integritas data, dan memungkinkan
tujuan organisasi tercapai secara efektif
dengan menggunakan sumber daya secara
efisien [2].
Dalam pelaksanaan audit digunakan etika
profesi yang dirumuskan oleh organisasi
profesi Information System Audit and Control
Association (ISACA)
2.2. Kendali Sistem Informasi
Kendali merupakan suatu sistem yang
mencegah, mendeteksi atau memperbaiki
kejadian yang tidak dibenarkan (unlawful
events) [2]. Unlawful events dapat berupa:
unauttorized, inaccurate, incomplete,
redundant, ineffective atau inefficient event.
Kendali dapat mengurangi kesalahan yang
mungkin terjadi dari kejadian-kejadian yang
tidak dibenarkan dengan cara: mengurangi
kemungkinan kemunculan kejadian yang tidak
dibenarkan; membatasi kesalahan/ kerusakan
jika kejadian yang tidak dibenarkan tersebut
terjadi.
Dalam audit berbasis kendali dilakukan
serangkaian kegiatan untuk melihat tingkat
kehandalan kendali-kendali tersebut.
3. Standar Penilaian Kondisi Sistem
Mutu ISO 9001-2000
ISO 9001-2000 merupakan standar
manajemen mutu yang dikeluarkan oleh
International Standar Organization (ISO) [4].
Pada standar ini, penilaian kondisi sistem mutu
mempunyai 4 skala [5], yaitu: P (Poor), W
(Weak), F (Fair), S (Strong) yang kriterianya
dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1.
Kriteria penilaian pada ISO 9001-2000
Kriteria Interpretasi
P (Poor) Sistem mutu praktis belum
terbentuk. Sangat disarankan
untuk meninjau ulang
keseluruhan proses.
Direkomendasikan pula untuk
mengadakan suatu pelatihan
intensif & menyeluruh mengenai
TQM (Total Quality
Management), metode-metode
serta tekniknya disamping
mengadakan pelatihan/konsultasi
ISO 9001-2000.
W
(Weak)
Masih banyak elemen sistem
manajemen mutu yang tidak
sesuai dengan standar sistem
manajemen mutu ISO 9001-2000.
Organisasi harus banyak
melakukan orientasi dan pelatihan
yang khusus mengenai ISO 9001-
2000. Apabila organisasi serius
untuk mendapatkan sertifikasi
ISO 9001-2000 harus dibentuk
suatu steering committee dan
meminta bantuan dari para ahli
pelatihan/konsultan ISO 9001-
2000.
F (Fair) Beberapa elemen sistem telah
sesuai dengan standar sistem
manajemen mutu ISO 9001-2000,
tetapi masih ada bagian yang
penting dari sistem mutu yang
belum sesuai dengan standar
tersebut atau bahkan tidak ada
sama sekali. Temukan dengan
tepat area tersebut dan terapkan
sistem/standar yang diminta.
Sebagai petunjuk tambahan dapat
digunakan petunjuk (manual)
resmi seperti ISO 9001-2000 atau
dapatkan pelayanan dari para
ahli/konsultan ISO 9001-2000.
INTEGRAL, Vol. 9 No. 1, Maret 2004
53
S (Strong) Sebagian besar persyaratan dalam
ISO 9001-2000 telah dapat
dipenuhi oleh sistem. Periksalah
bagian/area yang angka
penilaiannya lemah (weak) dan
terapkan perbaikan-perbaikan,
gunakan ISO 9004-2000 sebagai
guidance jika dirasakan perlu.
Disarankan pula untuk
menjadwalkan pre-assessment
dari badan regristrasi ISO 9001-
2000.
Penilaian sistem mutu menggunakan suatu
ceklist yang berisi setiap segi mutu yang
dinilai. Dalam memberikan penilaian kualitatif
pada suatu ceklist digunakan 3 skala yaitu:
Weak (0), Medium (5) dan Strong (10).
4. Rancangan Model dan Prosedur
Audit Sistem Informasi Berbasis
Kendali
Model audit sistem informasi berbasis kendali
ini didasarkan pada suatu model fungsional
sistem informasi, di mana sistem informasi
dibagi dalam 2 fungsi [2], yaitu: fungsi
manajemen dan fungsi aplikasi, di mana fungsi
manajemen membungkus fungsi-fungsi
aplikasi (Gambar 4.1)
Gambar 4.1. Lapisan Fungsional Sistem Informasi
Fungsi manajemen mencakup: manajemen
puncak, manajemen pengembangan,
manajemen operasi dan pemeliharaan,
manajemen kualitas, manajemen keamanan,
dan manajemen data. Sedangkan fungsi
aplikasi mencakup sub fungsi: batas antara
pemakai dan sistem aplikasi, input,
pemrosesan, basis data, komunikasi data dan
output, prosedur dan dokumentasi.
Sedangkan dilihat dari fungsi aplikasi, sistem
informasi dapat dimodelkan seperti pada
gambar 4.2.
Sistem Informasi
Dokumen
Aplikasi
Pemroses
(HW/SW)
Interoperabilitas
(BD/NW)
Prosedur
Data
Informasi
Gambar 4.2. Model IPO (Input-Proses-Output) dan
Komponen Aplikasi Sistem Informasi
Sistem informasi merupakan sistem yang
mengolah data menjadi informasi untuk
mendukung operasi dan pengambilan
keputusan suatu organisasi.
Secara fisik, sistem informasi memiliki 4
komponen, yaitu:
- Data/ Informasi (infoware), sebagai
masukan dan keluaran dari sistem
informasi.
- Sumber daya manusia (brainware),
sebagai user dan pengelola dari sistem
informasi.
- Teknologi (technoware), yaitu teknologi
komputer HW, SW, NW, BD
- Prosedur dan Organisasi (organiware),
prosedur dibuat dalam bentuk langkah dan
dokumen yang diperlukan/ harus diisi
selama pengoperasian dan pengelolaan
sistem. Sedangkan organisasi memberikan
wadah untuk pengelolaan dan
pengoperasian sistem informasi.
Dilihat dari tipe pemroses data menjadi
informasi, sistem informasi, dibagi menjadi:
- Manual, di mana manusia sebagai
information processor.
- Terotomatisasi, di mana manusia sebagai
operator yang menyediakan input-output,
sedangkan komputer menjadi information
processor.
- Semi manual, di mana information
processor, sebagian manusia dan sebagian
komputer.
Dengan demikian, model pada gambar 4.2
ini mengakomodasi sistem informasi yang
manual, semi manual maupun yang
terotomatisasi dengan menggunakan
teknologi komputer.
Manajemen Puncak
Manajemen Pengembangan Sistem
Manajemen Data
Manajemen QA
Manajemen Keamanan
Manajemen Operasi & Pemeliharaan
Sistem Aplikasi
INTEGRAL, Vol. 9 No. 1, Maret 2004
54
4.1. Model Audit Sistem Informasi
Berbasis Kendali
Audit sistem informasi, jika dilihat sebagai
model IPO (input-proses-output), dapat
digambarkan seperti gambar 4.3.
Sistem Auditee
Audit Sistem
Informasi berbasis
Kendali
Standar & Prosedur
Audit
Hasil
Struktur
Kendali
Resiko
Fakta
Tujuan Audit
(As, Di, Ek, En)
Gambar 4.3. Model Audit Sistem Informasi berbasis
Kendali
Audit sistem informasi dilaksanakan untuk
mencapai suatu tujuan, yaitu: ingin
mengetahui apakah sistem informasi telah:
- Asset safeguard (As), mampu melindungi
aset sistem informasi.
- Data integrity (Di), apakah mampu
menjamin integritas data.
- Effectivity (Ek), apakah pengoperasiannya
dalam rangka mencapai tujuan organisasi
telah efektif.
- Efficiency (En), apakah dalam mencapai
tujuan organisasi telah menggunakan
sumber daya organisasi secara efisien.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu
dilakukan penilaian terhadap kondisi sistem
informasi suatu organisasi (fakta).
Pengumpulan fakta dilakukan dengan metode:
Wawancara (Wr); Inspeksi (In); Kuisioner
(Ks); Tes data (Td); Tes program (Tp).
Metode di atas dapat digunakan secara sendiri
atau merupakan kombinasi.
Agar penilaian berlangsung sistematis, maka
sistem informasi suatu organisasi perlu
dipartisi terutama berhubungan dengan sistem
pengendalian dalam organisasi tersebut
(struktur kendali). Untuk melaksanakan dan
mengevaluasi fakta diperlukan standar dan
prosedur audit. Agar penilaian proporsional,
maka perlu dikaitkan dengan tingkat resiko
dari masing-masing kendali dalam struktur
kendali organisasi.
Pada model yang dirancang:
- Tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan
tujuan dari audit sistem informasi.
- Struktur kendali didasarkan pada partisi
sistem informasi atas fungsi manajemen
dan fungsi aplikasi, dengan demikian ada
kendali manajemen dan kendali aplikasi.
- Standar penilaian, diadopsi dari standar
penilaian kualitas ISO-9001-2000.
- Resiko setiap kendali digunakan sebagai
bobot terhadap tujuan audit. Dengan
demikian setiap kendali memberikan
sumbangan terhadap tingkat pencapain
tujuan audit.
- Hasil audit, berupa indeks pencapain
tujuan untuk keseluruhan dan masingmasing
kendali, serta temuan yang bersifat
penyimpangan dan rekomendasirekomendasi
untuk memperbaiki yang
terkait dengan pencapaian tujuan audit
sistem informasi.
4.2. Implementasi Rancangan
Rancangan model di atas diimplementasikan
dalam bentuk cheklist pengendalian internal
dengan penjelasan sebagai berikut:
Ceklist pengendalian internal mewakili
kondisi setiap pengendalian dalam suatu
organisasi. Format ceklist seperti pada tabel
4.1, sedangkan isi ceklist secara keseluruhan
akan diuraikan pada makalah lain.
Sistem Pembobotan
Sistem pembobotan menggunakan skala nilai:
0 = tidak berpengaruh; 1 = rendah; 2 = sedang;
3 = tinggi
Dengan demikian, pernyataan/ pertanyaan
dalam ceklist yang tidak berpengaruh terhadap
suatu hasil audit diberi bobot 0 terhadap hasil
tersebut.
Sistem penilaian
Skala penilaian diadopsi dari standar penilaian
ISO 9001-2000, yaitu:
0 = weak; 5 = medium; 10 = strong
Indeks Hasil
Indeks hasil untuk masing-masing tujuan
audit, dihitung dengan rumus:
Indeks = Σ (nilai x bobot)/ Σ (bobot)
Hal ini berlaku untuk keseluruhan, setiap
fungsi maupun sub fungsi pengendalian.
Berdasarkan indeks ini, tingkat pencapaian
tujuan audit di kelompokkan menjadi 4
katagori, yaitu:
- P (poor), jika indeks <= 2.5
- W (weak), jika 2.5 < indeks <= 5.0
- F (fair), jika 5.0 < indeks <= 7.5
- S (strong), jika indeks > 7.5
INTEGRAL, Vol. 9 No. 1, Maret 2004
55
Metode Pengumpulan Fakta
Pengumpulan fakta dilakukan dengan metode:
1. Wawancara (Wr), terutama untuk
mendapat informasi gambaran umum
sistem informasi dan pointer ke fakta-fakta
yang akan dikumpulkan lebih lanjut.
2. Inspeksi (In), terutama untuk memeriksa
bukti-bukti dokumen dan aktifitas untuk
meyakinkan bahwa suatu kriteria telah
dipenuhi.
3. Kuisioner (Ks), terutama untuk
mengumpulkan informasi dari beberapa
sumber sekaligus berupa pendapat/
penilaian dari masing-masing sumber yang
hasilnya akan dioleh secara statistik.
4. Tes program (Tp), terutama digunakan
untuk melakukan pemeriksaan terhadap
perangkat lunak aplikasi yang digunakan
untuk pengendalian aplikasi.
5. Tes data (Td), untuk meyakinkan akan
integritas data, kebenaran data dan
konsistensi antara dokumen masukan
dengan data yang akan diproses.
Tabel 4.1. Format Ceklist Pengendalian Internal
No Hal yang harus diperhatikan Metode Pengumpulan Bobot Hasil Wr In Ks Td Tp Nilai As Di Ek En
Tabel 4.2. Contoh Ceklist yang telah diisi
No Hal yang harus diperhatikan Metode Pengumpulan Bobot Hasil Wr In Ks Td Tp Nilai As Di Ek En
1 Apakah telah disusun rencana strategis
jangka panjang berkaitan dengan sistem
informasi?
X X 2 0 3 3
4.3. Prosedur Audit Sistem Informasi
Berbasis Kendali
Tahapan audit sistem informasi dapat dilihat
pada gambar 4.4.
Evalusi hadil
& tindak
lanjut
Pengumpulan & evalusi
fakta
Perencanaan
Survei
Pendahuluan
Identifikasi
Struktur Kendali
Perkiraan
Resiko
Handal? Pengujian Substantif
(Ekstended)
Pengujian Substantif
(Limited)
Mulai
Evaluasi Hasil &
Pelaporan
Review Hasil dgn.
Auditee
Selesai
tidak
ya
Penilaian
Kehandalan Kendali
Gambar 4.4. Tahapan audit sistem informasi
Tahapan audit sistem informasi ini
dilaksanakan dalam satu siklus pada setiap
pelaksanaan audit. Sedangkan pelaksanaan
audit sendiri dapat dilakukan secara reguler
(tahunan), atau insidental sesuai dengan
kebutuhan organisasi, misalnya: sebagai
kegiatan post implementasi dari suatu sistem
informasi atau jika ada suatu kejadian yang
mengakibatkan sistem perlu direview kembali.
Berikut adalah penjelasan dari tahapan-tahapan
pada gambar 4.4 di atas.
1. Perencanaan
Pada tahapan perencanaan ini dilakukan
kegiatan-kegiatan:
- Survei Pendahuluan
Melakukan survei pendahuluan untuk
pengenalan organisasi auditee, sejarah,
proses bisnis. Selain itu juga untuk
menentukan tujuan dan cakupan
auditing.
- Identifikasi Struktur Kendali
Mengidentifikasi kendali-kendali
internal yang perlu diperhatikan untuk
keperluan penilaian kehandalan kendali
dan pengujian substantif.
- Perkiraan Resiko (Risk Assesment)
Memperkirakan resiko dari setiap
kendali untuk memberikan bobot yang
sesuai dengan tingkat resikonya.
INTEGRAL, Vol. 9 No. 1, Maret 2004
52
Hasil akhir dari tahapan ini adalah berupa
dokumen rencana audit sistem informasi,
yang berisi:
- Tujuan dan cakupan auditing
- Ceklist pengendalian internal yang
telah dilengkapi dengan metode
pengumpulan fakta dan bobot setiap
bagian. Untuk membuat ceklist
pengendalian internal ini dapat
menggunakan perangkat lunak bantu
ISA-R.
- Jadwal pelaksanaan auditing beserta
pihak-pihak yang akan dilibatkan
dalam kegiatan auditing ini.
2. Pengumpulan dan Penilaian Fakta
Pada tahapan pengumpulan dan penilaian
fakta dilakukan kegiatan-kegiatan:
- Penilaian Kehandalan Kendali
Penilaian dilakukan terhadap faktafakta
yang ada di lapangan.
Pengumpulan fakta dapat dilakukan
dengan metode wawancara (Wr),
inspeksi (In), kuisioner (Ks), tes
program (Tp) atau tes data (Td), yang
disesuaikan dengan fakta yang akan
dinilai. Penilaian dilakukan dengan
mengisi bagian nilai (N) pada ceklist
pengendalian internal, dengan
menggunakan skala penilaian 0 (weak:
pengendalian lemah sekali), 5
(medium: pengendalian sedang), 10
(strong: pengendalian handal).
- Pengujian Substantif
Jika suatu pengendalian pada penilaian
kehandalan bernilai weak atau medium,
maka diperlukan suatu pengujian
substantif yang sifatnya memperluas
(extended) untuk mengetahui apakah
ada konpensasi terhadap kelemahan
pengendalian ini serta untuk
mengetahui penyebab adanya
kelemahan pengendalian ini.
Di lain pihak, jika pengendalian strong,
maka diperlukan pengujian substantif
yang bersifat limited, untuk
meyakinkan bahwa fakta memang
akurat, dengan melihat lebih detail
bukti-bukti yang ada.
Semua catatan dan komentar dari
auditor tentang uji substantif ini dapat
dimasukkan pada kolom komentar pada
ceklist atau pada kertas terpisah yang
nantinya dijadikan temuan dan
rekomendasi-rekomendasi pada laporan
audit.
3. Evaluasi Hasil dan Tindak lanjut
Pada tahap evaluasi hasil dan tindak lanjut
dilakukan kegiatan:
- Evaluasi Hasil Pengendalian
Evaluasi hasil penilaian kehandalan
kendali dilakukan untuk memperoleh
indeks kehandalan pengendalian
terhadap tujuan audit, yaitu: indeks As,
Di, Ek dan En. Untuk evaluasi dapat
menggunakan perangkat lunak bantu
ISA-R, dengan memasukkan nilai-nilai
pada ceklist ke form-form data yang
disediakan oleh ISA-R. Hasilnya
berupa indeks untuk masing-masing
sub fungsi, fungsi dan total
pengendalian sistem informasi.
Selain indeks di atas, juga dilakukan
evaluasi terhadap komentar-komentar
sebagai hasil dari pengujian substantif.
Hal ini dimasukkan sebagai temuan
penyimpangan dan diberikan
rekomendasi-rekomendasi untuk
mengatasi penyimpangan tersebut.
- Pelaporan
Laporan hasil audit berisi:
a) Tujuan dan cakupan audit
b) Hasil audit berupa indeks
kehandalan pengendalian beserta
temuan-temuan penyimpangan
c) Rekomendasi-rekomendasi
- Review hasil dengan Auditee
Hasil audit dikirimkan kepada pihak
auditee dan pejabat yang membinanya
serta pihak lain yang berkepentingan.
Setelah itu dilakukan pertemuan review
tentang temuan-temuan beserta
rekomendasi serta kesanggupan dari
auditee untuk melaksanakan
rekomendasi-rekomendasi tersebut.
Demikianlah rancangan model dan prosedur
audit sistem informasi berbasis kendali.
4.4. Perangkat Lunak Bantu ISA-R *)
Perangkat lunak bantu ISA-R (Information
System Audit Report-tools) merupakan
perangkat lunak yang khusus dikembangkan
untuk membantu implementasi dari metode
audit yang diusulkan pada bagian 4.1-4.3.
Perangkat lunak ini memiliki fungsi untuk:
1. Membuat repositori daftar pertanyaan
beserta metode dan bobot (seperti pada
tabel 4.1).
2. Membangkitkan form-form untuk
pelaksanaan audit berdasarkan repositori
INTEGRAL, Vol. 9 No. 1, Maret 2004
53
dan struktur kendali dari sistem informasi
yang akan diaudit.
3. Mengolah data hasil audit berdasarkan
hasil dari pengisian form-form pada point 2
di atas.
4. Membuat resume laporan hasil audit yang
pada prinsipnya berisi indikator As, Di, En
dan Ek dari sistem informasi yang diaudit.
Dengan demikian auditor dapat lebih
berkonsentrasi pada masalah substansi audit,
yaitu: identifikasi struktur kendali dan
pelaksanaan audit berdasarkan struktur kendali
yang telah diidentifikasi.
*) Penjelasan lebih detail tentang rancangan aplikasi ini akan
disampaikan dalam makalah tersendiri.
6. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa
kesimpulan:
1. Model dan prosedur audit sistem informasi
yang dikembangkan dalam penelitian ini
bersifat umum, dapat diterapkan untuk
sistem informasi yang manual, semi
manual atau terotomatisasi dengan
menggunakan teknologi komputer. Model
dan prosedur ini mencakup fungsi
manajemen dan fungsi aplikasi sistem
informasi sehingga mencakup seluruh
aspek fungsional sistem informasi.
2. Model dan prosedur audit sistem informasi
yang dirancang lebih ditujukan untuk
secara efektif dapat mengetahui tingkat As
(asset safeguard), Di (data integrity), Ek
(efektivitas) dan En (Efisiensi) dari suatu
sistem informasi. Sehingga secara
keseluruhan dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat pencapaian tujuan
suatu organisasi yang dikaitkan dengan
sistem informasi.
7. Daftar Pustaka
[1] Kenneth, “Management Information
System”, Pretice Hall, 1999
[2] Ron Weber, “Information System Control
and Audit”, The University of Queensland,
Prentice Hall, 1999
[3] “Information System Audit and Control
Association (ISACA), Standard for
Information System and Audit”,
http://www.isaca.org, 21 Mei 2001
[4] “Kesadaran Mutu ISO 9000”, SPRINT
Consultant, 2000.
[5] Gasperz,Vincent (terj)., “ISO 9001:2000
And Continual Quality Improvement:
Interpretation Documentation Improvement
Self Internal Audit”, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2001

3. Etika dalam akuntansi (Creative Accounting, Froud Auditing / Accounting dll)

Nama : Anil Amrosi
NPM : 21207261
Kelas : 4EB08

PERILAKU ETIKA DALAM AKUNTANSI :
APA YANG DIMAKSUD DENGAN ETIKA?
Seperempat abad yang lalu terlihat peningkatan kewaspadaan akan pentingnya etik dan moral dalm segala hal dan alikasi dari prinsip etika dalam bisnis dan tentunya akuntansi yang berada di dalamnya. Namun, apa yang dimaksud? Bagaimana mengaplikasikannya serta mengakui bisnis secara umum dan akuntansi secara khusus.
Dalam hal ini, kita akan membahas kesadaran akan etik dan moral serta bermacam-macam dimensi. Dari sini, kita dapat memahami kapan harus mengerjakan tugas akuntansi dan profesi akuntansi.
Moral dan etik adlaah dua hal yang berbeda, “Webster’s Collegiate Dictionary” memberikan empat dasar pengertian dari kata etik, yaitu:
1. Berhubungan dengan mana yang baik dan buruk dengan kewajiban moral dan obligasi
2. Serangkaian prinsip moral dan nilai
3. Teori atau sistem dari hal moral
4. Prinsip dari perilaku individu atau golongan
Etik terfokus pada benar atau salah, baik atau buruk serta serangkaian pendapat prinsip seseorang atau golongan atau disebut tentang ilmu prinsip etika. Maksud dari disiplin adalah analisis, evaluasi perilaku seseorang “assisted suicide”. “assisted suicide” adalah analisis dan alasan apa yang dapat mendukung dari atas apa yang telah dilakukan (evaluasi).
• ETIK : INISIATIF INTELEKTUAL
Setiap orang memiliki serangkaian etika dari kepercayaan atau prinsip etika. Dan setiap kepercayaan etika terdiri dari dua elemen yaitu, subjek dan predikat. Subjek mewakili tentang apa yang dipercaya “salah” adalah predikat etika. Predikat etika adalah apa yang dikatakan atau dilakukan oleh subjek.
Ekspresi dari kepercayaan yang kita anut, “cooking the books is wrong”, “cookingthe books” adalah perilaku, atau kadang sistem atau institusi.
• PERILAKU
• Perilaku manusia adlah subjek utama dari ekspresi dari kepercayaan etika dari perilaku manusia tersebut. Dari sini kita dapat mengambil sikap atau aktivitas yang dengan sengaja dilakukan. Bagaimnapaun, tidak semua perilaku yang sengaja dilakukan oleh manusia memiliki nilai etika. Perilaku yang dengan sengaja dilakukan kita desain seperti “etika” atau “tidak beretika”, selayaknya perilaku yang menguntungkan atau merugikan orang lain atau diri sendiri secara positif atau diri sendiri secara positif atau negatif dalam keputusan atau jalan hidup yang berdampak serius.

• Perilaku sosial, institusi dan system
Perilaku manusia bukan hanya satu-satunya subjek dalam etik. Disamping perilaku, mengevaluasi etik perilaku sosial, organisasi, institusi dan sistem dari segi sosial, politik serta ekonomi. Etik juga mengevaluasi organisasi, institusi dan sistem. Intinya, etik dapat mengevaluasi perilaku dan sikap atau sistem baik dari individu maupun golongan.
MENGAPA MEMELAJARI ETIKA?
Mengapa kita harus memelajari etika?
Pertama, beberapa kepercayaan moral mungkin tidak sesuai karena mereka memiliki kepercayaan yang sederhana tenatang isu yang kompleks.
Kedua, dalam beberapa situasi, karena adanya konflik prinsip etika, mungkin akan sulit untuk menentukan paa yang akan dilakukan. Maka etik dapat memberikan pemahaman lebih dalam tentang hal tersebut.
Ketiga, seseorang mungkin memiliki atau memegang kepercayaan yang tidak sesuai atau nilai etik yang melekat namun tidak sesuai.
• Perilaku tidak etis
adalah tindakan yang berbeda dengan tindakan yang mereka percayai yang merupakan tindakan tepat dilakukan dalam situasi tertentu

Kode Etik Profesi AICPA (American Institute of Certified Public Accountants)
1. Standar umum perilaku yang ideal dan menjadi khusus tentang perilaku yang harus dilakukan . Terdiri dari empat bagian:
• Prinsip etika profesi
• Peraturan etika
• Interpretasi atas peraturan etika
• Kaidah etika
2. Disusun berdasarkan urutan makin spesifiknya standar tersebut.

• Prinsip Etika Profesi
Membahas prinsip etika profesi yang berisi diskusi umum tentang beberapa syarat karakteristik tertentu sebagai akuntan publik
 Terdiri dari dua bagian utama :
- Enam prinsip etika
- Diskusi keenam prinsip
à Lima prinsip pertama diterapkan secara sama rata kepada seluruh anggota, kecuali Prinsip Obyektivitas dan Independensi hanya berlaku bagi yang bekerja bagi publik (jasa atestasi/jasa audit)

à Satu prinsip terakhir, Lingkup dan Sifat Jasa, hanya diterapkan bagi anggota yang bekerja pada publik

• Peraturan Etika
Melibatkan peraturan eksplisit yang harus dipatuhi oleh semua akuntan publik dalam berpraktek. Perbedaan antara standar etika dalam Prinsip dengan standar etika dalam Peraturan Etika:
• Interpretasi Peraturan Etika
Peraturan yang spesifik yang secara formal tidak harus dipatuhi, tetapi penyimpangan dari interpretasi ini akan menimbulkan kesulitan
• Kaidah Etika
Rangkaian penjelasan oleh komite eksekutif pada divisi etika professional tentang situasi spesifik yang nyata (specific factual circumtances)

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia

Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya bagi masyarakat. Etika profesional bagi praktek akuntan di Indonesia disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia sebagai organisasi profesi akuntan.

Rerangka Kode Etik Akuntan Indonesia

Kode Etik IAI ada 4 bagian :
1. Prinsip Etika
2. Aturan Etika
3. Interpretasi Aturan Etika
4. Tanya Jawab

Analisis Pribadi : Dalam akuntansi ada yang disebut dengan perilaku tidak etis, contohnya saja auditor yang salah dalam menyampaikan laporan audit dikarenakan auditor tersebut tidak kompeten dalam bidangnya. Perilaku tersebut merupakan salah satu contah perilaku tidak etis dalam akuntansi, untuk itu dibutuhkanlah standar kode etik untuk para pelaku akuntansi. Dan IAI sebagai lembaga akuntansi harus dapat membuat kode etik yang harus dilakukan oleh para pelaku akuntansi.

Sumber :
http://dhanialfitra.wordpress.com/2009/07/02/perilaku-etika-dalam-akuntansi-apa-yang-dimaksud-dengan-etik/

2. Etika Bisnis

Nama : Anil Amrosi
NPM : 21207261
Kelas : 4EB08

Etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.
Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting.
Apa yang diharapkan dan mengapa kita mempelajari Etika Bisnis?
Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai, yaitu :
1. Menanamkan atau meningkakan kesadaran akan adanya demensi etis dalam bisnis.
Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah
ada, tapi masih lemah dan ragu.
Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan
segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.
2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu
pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat.
Dalam etika sebagai ilmu, bukan Baja penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.
3. Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya
(kelak).
Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan, apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabnya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan : etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar.

Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu : dari sudut pandang ekonomi, hukum dan etika.

1.Sudut pandang ekonomis.
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.

2.Sudut pandang moral.
Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang bisa kita lakukan boleh dilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.

3. Sudut pandang Hukum
Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan "Hukum" Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal : "Quid leges sine
moribus" yang artinya : "apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas "
Lalu apa tolok ukur bahwa bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tadi?
Untuk sudut pandang ekonomis, jawaban pertanyaan ini lebih mudah, yaitu bila bisnis memberikan profit, dan hal ini akan jelas terbaca pada laporan rugi/laba perusahaan di akhir tahun. Dari sudut pandang hukum pun jelas, bahwa bisnis yang baik adalah yang diperbolehkan oleh sistem hukum yang berlaku. (penyelundupan adalah bisnis yang tidak baik).
Yang lebih sulit jawabnya adalah bila bisnis dilihat dari sudut pandang moral. Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan bisnis.
Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur yaitu : nurani, Kaidah Emas, penilaian umum.
1.Hati nurani:
Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati nurani, keputusan yang diambil "dihadapan Tuhan" dan kita sadar dengan tindakan tersebut memenuhi kehendak Tuhan.
2. Kaidah Emas :
Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas (positif), yang berbunyi : "Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan" Kenapa begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik. Kalau begitu yang saya akan berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral). Rumusan Kaidah Emas secara negatif : "Jangan perlakukan orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda" Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap diri saya. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).
3. Penilaian Umum :
Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial. Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
Apa itu etika bisnis?
Kata "etika" dan "etis" tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula "etika bisnis" bias berbeda artinya. Etika sebagai praksis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Sedangkanetis, merupakansifat daritindakan yang sesuaidengan etika.

Peranan Etika dalam Bisnis :
Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu:
1.Produk yang baik
2. Managemen yang baik
3. Memiliki Etika
Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk masyarakat disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumberdaya manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan tsb. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral.
Mengapa bisnis harus berlaku etis ?
Tekanan kalimat ini ada pada kata "harus". Dengan kata lain, mengapa bisnis tidak bebas untuk berlaku etis atau tidak? Tentu saja secara faktual, telah berulang kali terjadi hal-hal yang tidak etis dalam kegiatan bisnis, dan hal ini tidak perlu disangkal, tetapi juga tidak perlu menjadi fokus perhatian kita. Pertanyaannya bukan tentang kenyataan faktual, melainkan tentang normativitas : seharusnya bagaimana dan apa yang menjadi dasar untuk keharusan itu.
Mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum.
Jawabannya ada tiga yaitu :
• Tuhan melalui agama/kepercayaan yang dianut, diharapkan setiap pebisnis akan dibimbing oleh iman kepercayaannya, dan menjadi tugas agama mengajak para pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi moral.
• Kontrak Sosial, umat manusia seolah-olah pernah mengadakan kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma moral, dan kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri daripadanya.
• Keutamaan, Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik, justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang baik adalah baik karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu saja.

KODE ETIK PERUSAHAAN
Kode Etik (Patrick Murphy) atau kadang-kadang disebut code of conduct atau code of ethical conduct ini, menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (mungkin pernah timbul dimasa lalu), seperti konflik kepentingan, hubungan dengan pesaing dan pemasok, menerima hadiah, sumbangan dan sebagainya.
Latar belakang pembuatan Kode Etik adalah sebagai cara ampuh untuk melembagakan etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Bila Perusahaan memiliki Kode Etik sendiri, is mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memilikinya.
Manfaat Kode Etik Perusahaan :
1. Kode Etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan sebagai
corporate culture. Hal ini terutama penting bagi perusahaan besar yang karyawannya tidak semuanya
saling mengenal satu sama lainnya. Dengan adanya kode etik, secara intern semua karyawan terikat dengan standard etis yang sama, sehingga akan mefigambil kebijakan/keputusan yang sama terhadap kasus sejenis yang timbul.
2. Kode Etik, dapat membantu menghilangkan grey area (kawasan kelabu) dibidang etika. (penerimaan komisi, penggunaan tenaga kerja anak, kewajiban perusahaan dalam melindungi lingkungan hidup).
3. Kode etik menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
4. Kode Etik, menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya, kemungkinan untuk mengatur diri sendiri (self regulation).

ETIKA BISNIS & PEDOMAN PERILAKU
Prinsip Dasar
Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaanGCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan
dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai(values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan.Prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah: Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.
Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan.

Pedoman Pokok Pelaksanaan
A. Nilai-nilai Perusahaan
Nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu, sebelum merumuskan nilai-nilai perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi perusahaan. Walaupun nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta karakter dan letak geografis dari masing-masing perusahaan.
Nilai-nilai perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya, adil dan jujur.
B. Etika Bisnis
Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan(stakeholders) .
Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam
pedoman perilaku.
C. Pedoman Perilaku
Fungsi Pedoman Perilaku
Pedoman perilaku merupakan penjabaran nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis dalam melaksanakan usaha sehingga menjadi panduan bagi organ perusahaan dan semua karyawan perusahaan; Pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis.
Benturan Kepentingan
Benturan kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, angggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta karyawan perusahaan; Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan
harus senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomis perusahaan diatas kepentingan ekonomis pribadi atau keluarga, maupun pihak lainnya; Anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan jabatan untuk
kepentingan atau keuntungan pribadi, keluarga dan pihak-pihak lain;
Dalam hal pembahasan dan pengambilan keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan, pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan ikut serta;
Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan harus mengeluarkan suaranya dalam RUPS sesuai dengan keputusan yang diambil oleh pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan.
Pemberian dan Penerimaan Hadiah dan Donasi
Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang memberikan atau menawarkan sesuatu, baik langsung ataupun tidak langsung, kepada pejabat Negara dan atau individu yang mewakili mitra bisnis, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan; Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang menerima sesuatu untuk kepentingannya, baik langsung ataupun tidak langsung, dari mitra bisnis, yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan. Donasi oleh perusahaan ataupun pemberian suatu aset perusahaan kepada partai politik atau seorang atau lebih calon anggota badan legislatif maupun eksekutif, hanya boleh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Dalam batas kepatutan sebagaimana ditetapkan oleh perusahaan, donasi untuk amal dapat
dibenarkan; Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak memberikan sesuatu dan atau menerima sesuatu yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan.
Kepatuhan terhadap Peraturan
Organ perusahaan dan karyawan perusahaan harus melaksanakan peraturan perundang undangan dan peraturan perusahaan; Dewan Komisaris harus memastikan bahwa Direksi dan karyawan perusahaan melaksanakan peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan; Perusahaan harus melakukan pencatatan atas harta, utang dan modal secara benar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Kerahasiaan Informasi
Anggota Dewan Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta karyawan perusahaan harus menjaga kerahasiaan informasi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, peraturan perusahaan dan kelaziman dalam dunia usaha;
Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan informasi yang berkaitan dengan perusahaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada informasi rencana pengambil-alihan, penggabungan usaha dan pembelian kembali saham;
ANALISIS PRIBADI : Setiap pelaku bisnis sebaiknya harus mengetahui secara detail tentang moralitas dan etika dalam berbisnis, sama halnya dengan berhubungan dengan sesama manusia dibutuhkan etika dan moralitas agar tercipta hubungan yang baik dan saling menguntungkan, begitu juga dalam berbisnis, setiap individu diwajibkan untuk menerapkan etika dan moralitas dalam berbisnis.

Sumber :
http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS
http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/e-learning/materi/1-artikel/40-etika-bisnis.html

1. Good Corporate Governance

Tugas Etika Profesi Akuntansi

Nama : Anil Amrosi
NPM : 21207261
Kelas : 4EB08
 
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
“Kekuasaan Tertinggi Dalam Hal Operasional Di Perusahaan Terletak Pada Dewan Direksi. Karena Itu, Dewan Direksi Harus Menjadi Contoh Positif Pelaksanaan Good Corporate Governance Di Perusahaan.”
Siapakah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan prinsip-prinsip dasar good corporate governance di perusahaan? Pertanyaan ini diajukan oleh seorang peserta yang mengikuti pelatihan GCG and Business Ethics di sebuah perusahaan di Surabaya pada awal bulan Mei 2010. Peserta tersebut berpendapat bahwa GCG harus didukung dari atas, dan bila tidak, maka GCG tidak mungkin bisa dijalankan dengan baik.
Saya sangat bersependapat dengan peserta tersebut, dan dia betul sekali bahwa pelaksanaan GCG harus didukung dengan sepenuh hati dalam integritas yang tinggi oleh dewan direksi dan dewan komisaris. Tanpa dukungan dewan direksi dan dewan komisaris, jangan pernah berharap prinsip-prinsip GCG bisa tumbuh dan berkembang secara sempurna di dalam organisasi.
Setiap fungsi, peran, dan perilaku kerja dari mulai pemilik, komisaris, direksi, manajer, dan karyawan harus tercerahkan untuk menjalankan prinsip-prinsip dasar GCG yang penuh integritas, kecerdasan, dan energi. Oleh karena itu, tidak sekedar cukup setiap orang di dalam perusahaan menandatangani fakta integritas, tapi juga diperlukan kecerdasan emosional untuk menjadi pribadi profesional yang bertanggung jawab penuh pada kinerja, prestasi, dan pertumbuhan perusahaan. Sebab, tujuan akhir dari good corporate governance adalah memaksimalkan nilai tambah bisnis perusahaan. Artinya, setiap orang di perusahaan tidak hanya harus bersikap terbuka, jujur, adil, bertanggung jawab, dan konsisten; tapi juga harus memiliki energi, kecerdasan, strategi, inovasi, kreativitas, dan efektivitas dalam upaya menciptakan nilai tambah bisnis dan non bisnis yang besar di perusahaan.
Dewan direksi harus membangun sistem untuk mengungkapan semua informasi yang relevan kepada para pemegang saham dan kreditur, termasuk menciptakan alat-alat analisis risiko bisnis yang sesuai dengan keadaan; membangun sistem, aturan, dan praktek yang memandu integritas setiap orang di perusahaan dengan cara-cara profesional dan wajar; membentuk komite-komite pendukung untuk menjaga independensi operasional perusahaan agar perusahaan bisa berjalan sesuai prinsip-prinsip good corporate governance;membentuk sistem pemantauan dan pengendalian manajemen yang fokus pada kualitas dan integritas.
Lingkungan tata kelola perusahaan sangat menentukan kualitas tata kelola perusahaan. Bila para pemegang saham, dewan komisaris, dewan direksi, manajemen puncak, karyawan, regulator, auditor, investor, pelanggan, pemasok, dan semua pemangku kepentingan sekunder lainnya memiliki integritas, profesionalisme, tanggung jawab, dan etika; maka dapat dipastikan prinsip-prinsip good corporate governance akan berjalan dengan sempurna.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus memberikan keteladanan dan contoh nyata kepada setiap orang dalam menjalankan etika bisnis secara konsisten. Termasuk, komitmen untuk patuh pada hukum, peraturan, dan perjanjian dengan setiap stakeholders. Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pendapat peserta di Surabaya tersebut bahwa tanggung jawab pelaksanaan good corporate governance secara benar dan profesional terletak di pundak dewan direksi dan dewan komisaris.
Good Corporate Governance
Posted by DJAJENDRA
artikel Good Corporate Governance
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
Posted by DJAJENDRA
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
Posted by DJAJENDRA
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
Memantau Perilaku Kerja Karyawan
“Perkembangan Teknologi Di Kantor Mengharuskan Karyawan Untuk Menghilangkan Kepentingan Pribadi Di Kantor, Dan Meningkatkan Pelayanan Berkualitas Kepada Perusahaan Dan Stakeholders.” – Djajendra
Sekarang ini semakin banyak perusahaan yang memiliki kebijakan untuk memantau aktivitas kerja karyawan mereka secara elektronik. Kemajuan teknologi membuat setiap orang dapat dipantau dari jarak jauh. Dengan sistem kerja yang terintegrasi semua orang yang berwenang di kantor dapat memonitor tentang apa yang dilakukan oleh bawahannya. Voice mail, email, internet dari setiap karyawan di kantor masuk ke dalam sistem yang dapat dipantau oleh atasan. Artinya, para atasan memiliki hak untuk membaca email karyawannya, mendengarkan voice mail karyawannya, dan mencek pemakaian atau pemanfaatan internet karyawannya di kantor.
Sisi positif dari pemantauan aktif terhadap karyawan oleh sistem di perusahaan adalah menciptakan disiplin terhadap etos kerja, sedangkan sisi negatifnya adalah para karyawan merasa tidak bebas dan takut dinilai buruk. Akibatnya, tingkat stres dapat meningkat tajam di lingkungan tempat kerja.
Pemantauan aktif terhadap karyawan umumnya dilakukan untuk tujuan menjalankan konsep good governance dengan benar. Di sini, pemantauan terfokus kepada pelaksanaan etika bisnis dan etika kerja.Sebab, kedua hal tersebut dianggap memiliki tingkat risiko penyimpangan yang cukup tinggi, sehingga harus dibuat sebuah sistem kerja yang terintegrasi dalam konsep pengawasan yang terbuka.
Melalui sistem pemantauan ini diharapkan karyawan menjadi lebih patuh pada etika bisnis; karyawan lebih patuh pada kewajiban kerja; kinerja karyawan dapat dipantau secara terbuka dan adil; produktivitas karyawan dapat diukur secara adil dan terbuka; dan dapat menjaga keamanan informasi perusahaan dari penyalahgunaan.
Kebijakan perusahaan untuk memantau karyawan harus dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Hak-hak pribadi karyawan harus dijaga dan dihormati. Karyawan juga harus tahu bahwa mereka sedang dimonitor secara elektronik. Karyawan juga harus tahu hal apa dari perilaku mereka yang sedang dipantau dan untuk apa. Karyawan juga harus tahu apa yang dapat diterima dari perilaku mereka dan apa yang tidak dapat diterima oleh pimpinan dari perilaku mereka.
Pimpinan wajib memberikan pencerahan dan motivasi kepada setiap karyawan tentang manfaat positif dari kebijakan perusahaan untuk memantau perilaku kerja karyawan.
Di Saat Auditor Mengamati Budaya Perusahaan
Posted by DJAJENDRA
“Budaya Yang Berkualitas Mengkonfirmasi Kemanjuran Budaya Dalam Menciptakan Motivasi Buat Mendorong Setiap Orang Untuk Meraih Prestasi Tertinggi.” – Djajendra
Tempat kerja merupakan rumah buat para karyawan dan pimpinan di perusahaan untuk menciptakan kehidupan yang sehat, damai, bersih, bahagia, sejahtera, dan profesional. Oleh karena itu, rumah harus dijaga dan dirawat dengan prinsip dan nilai-nilai kerja yang berbudaya efektif, efisien, produktif, kualitas, melayani, toleransi, tanggung jawab, beretika, berintegritas, saling menghormati, dan saling bekerja sama untuk kejayaan stakeholders.
Saat saya bekerja di kantor akuntan publik, di saat mengaudit klien, saya berusaha untuk mendapatkan gambaran utuh tentang budaya organisasi klien. Untuk saya, budaya organisasi klien bisa menceritakan banyak hal sebelum saya fokus untuk mengaudit pada titik-titik persoalan yang berisiko tinggi.
Salah satu teknik audit yang saya gunakan adalah berkeliling di tempat kerja klien untuk mengamati dan menilai budaya organisasi klien. Secara diam-diam saya mencoba mengamati suasana kantor, mengamati kebersihan toilet, kantin, papan pengumuman, ruang kerja, ruang meeting, cara berpakaian karyawan dan pimpinan, absensi, cara bicara karyawan dan pimpinan, tempat penyimpanan data, dan hal-hal lain yang terlihat secara fisik. Ini adalah cara di mana saya dapat mengamati dan memahami budaya organisasi klien saya. Hasil penilaian saya tentang budaya organisasi klien akan memberi tahu saya tentang titik–titik persoalan yang dimiliki oleh manajemen. Dan, saya bisa memulai proses audit tanpa berbenturan dengan program audit yang telah kami siapkan sebelumnya.
Hasil pengamatan saya terhadap budaya organisasi klien akan memberikan energi tambahan buat naluri dan intuisi saya dalam melakukan pemeriksaan.
Dari pengalaman saya mengaudit para klien, saya menemukan bahwa hubungan antara budaya perusahaan dengan potensi risiko sangat akrab. Semakin berkualitas dan sempurna budaya perusahaan, semakin rendah potensi risiko di perusahaan tersebut. Artinya, budaya perusahaan sangat menentukan tingkat kesehatan perusahan. Budaya perusahaan yang hebat memperlihatkan energi, komitmen, perilaku, motivasi, dan kehidupan setiap orang di perusahaan terfokus untuk menghasilkan kinerja terbaik. Sebaliknya, budaya perusahaan yang berkualitas rendah memperlihatkan seolah-olah setiap orang diperusahaan sedang mengundang risiko untuk merusak kualitas manajemen, kualitas pekerja, kualitas keuangan, kualitas operasional, dan kualitas – kualitas lainnya.
Satukan Perilaku Kerja Anda Dengan Visi Dan Tujuan Besar Perusahaan Anda
Posted by DJAJENDRA

“Tanpa Visi Dan Tujuan Yang Jelas, Anda Akan Hilang Dan Tenggelam Dalam Kesibukan Kehidupan Rutinitas Anda.” – Djajendra
Di saat Anda sibuk bekerja bersama rutinitas dari tanggung jawab Anda; di saat Anda sibuk bertindak untuk memenuhi ambisi-ambisi pribadi Anda; di saat Anda berjuang total untuk mencapai target dan rencana terbesar dalam pekerjaan Anda, maka bertindaklah dalam visi dan tujuan perusahaan yang jelas dan terang. Jangan pernah bekerja dan bertindak tanpa visi dan tujuan yang jelas, sebab, nanti Anda akan hilang dan tenggelam dalam kesibukan kehidupan rutinitas kantor Anda.
Visi dan tujuan yang jelas dapat membantu Anda untuk menemukan rute perjalanan dalam mencapai impian besar perusahaan Anda. Artinya, visi dan tujuan akan menciptakan fokus yang lebih jelas buat meraih semua hasil yang diinginkan.
Suatu ketika di sekitar tahun 1990 an, di saat saya masih bekerja sebagai internal auditor di sebuah bank, di dalam sebuah rapat penemuan hasil audit, secara tiba-tiba pimpinan cabang bertanya tentang apa arti benar dan salah. Pimpinan cabang adalah orang marketing dan saya adalah auditor, dua kepentingan yang saling bertolak belakang. Auditor harus memahami benar dan salah sesuai sop audit. Pimpinan cabang harus memahaminya sesuai budget, target dan rencana cabang. Perbedaan antara auditor dan marketing terjadi karena tidak terinternalisasinya nilai-nilai dari visi dan tujuan besar perusahaan secara mendasar ke dalam mind set para pelaku kerja di lapangan. Auditor memiliki visi membuat perusahaan sehat dan kuat, dan harus bekerja dengan cara mencegah risiko sedini mungkin, agar tidak ada risiko yang membawa bencana buat perusahaan. Sedangkan pimpinan cabang memiliki visi untuk meningkatkan keuntungan pemegang saham, untuk itu, dia harus melayani kepentingan nasabah secara berkualitas dan mudah. Artinya, pimpinan cabang harus berani mengambil risiko untuk mewujudkan target dan rencana cabang. Kami semua telah bekerja sesuai tanggung jawab kami masing-masing, tapi kami tidak tercerahkan untuk memahami gambaran besar dari visi dan tujuan perusahaan yang sedang kami bangun tersebut.
Buatlah visi dan tujuan perusahaan bekerja untuk membantu perilaku kerja Anda bersama fungsi dan peran kerja lain. Jangan terlalu egois dan ngotot bersama tujuan dari fungsi kerja Anda, tapi dapatkan visi perusahaan dalam gambaran besar dan wawasan yang lebih luas untuk membuat perilaku kerja Anda menyatu menjadi satu kekuatan dengan kekuatan-kekuatan fungsi kerja lain di perusahaan.
Tanggung Jawab GCG Terletak Di Pundak Dewan Direksi dan Dewan Komisaris.
Posted by DJAJENDRA
artikel Good Corporate Governance

“Kekuasaan Tertinggi Dalam Hal Operasional Di Perusahaan Terletak Pada Dewan Direksi. Karena Itu, Dewan Direksi Harus Menjadi Contoh Positif Pelaksanaan Good Corporate Governance Di Perusahaan.” – Djajendra
Siapakah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan prinsip-prinsip dasar good corporate governance di perusahaan? Pertanyaan ini diajukan oleh seorang peserta yang mengikuti pelatihan GCG and Business Ethics di sebuah perusahaan di Surabaya pada awal bulan Mei 2010. Peserta tersebut berpendapat bahwa GCG harus didukung dari atas, dan bila tidak, maka GCG tidak mungkin bisa dijalankan dengan baik.
Saya sangat bersependapat dengan peserta tersebut, dan dia betul sekali bahwa pelaksanaan GCG harus didukung dengan sepenuh hati dalam integritas yang tinggi oleh dewan direksi dan dewan komisaris. Tanpa dukungan dewan direksi dan dewan komisaris, jangan pernah berharap prinsip-prinsip GCG bisa tumbuh dan berkembang secara sempurna di dalam organisasi.
Setiap fungsi, peran, dan perilaku kerja dari mulai pemilik, komisaris, direksi, manajer, dan karyawan harus tercerahkan untuk menjalankan prinsip-prinsip dasar GCG yang penuh integritas, kecerdasan, dan energi. Oleh karena itu, tidak sekedar cukup setiap orang di dalam perusahaan menandatangani fakta integritas, tapi juga diperlukan kecerdasan emosional untuk menjadi pribadi profesional yang bertanggung jawab penuh pada kinerja, prestasi, dan pertumbuhan perusahaan. Sebab, tujuan akhir dari good corporate governance adalah memaksimalkan nilai tambah bisnis perusahaan. Artinya, setiap orang di perusahaan tidak hanya harus bersikap terbuka, jujur, adil, bertanggung jawab, dan konsisten; tapi juga harus memiliki energi, kecerdasan, strategi, inovasi, kreativitas, dan efektivitas dalam upaya menciptakan nilai tambah bisnis dan non bisnis yang besar di perusahaan.
Dewan direksi harus membangun sistem untuk mengungkapan semua informasi yang relevan kepada para pemegang saham dan kreditur, termasuk menciptakan alat-alat analisis risiko bisnis yang sesuai dengan keadaan; membangun sistem, aturan, dan praktek yang memandu integritas setiap orang di perusahaan dengan cara-cara profesional dan wajar; membentuk komite-komite pendukung untuk menjaga independensi operasional perusahaan agar perusahaan bisa berjalan sesuai prinsip-prinsip good corporate governance;membentuk sistem pemantauan dan pengendalian manajemen yang fokus pada kualitas dan integritas.
Lingkungan tata kelola perusahaan sangat menentukan kualitas tata kelola perusahaan. Bila para pemegang saham, dewan komisaris, dewan direksi, manajemen puncak, karyawan, regulator, auditor, investor, pelanggan, pemasok, dan semua pemangku kepentingan sekunder lainnya memiliki integritas, profesionalisme, tanggung jawab, dan etika; maka dapat dipastikan prinsip-prinsip good corporate governance akan berjalan dengan sempurna.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus memberikan keteladanan dan contoh nyata kepada setiap orang dalam menjalankan etika bisnis secara konsisten. Termasuk, komitmen untuk patuh pada hukum, peraturan, dan perjanjian dengan setiap stakeholders. Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pendapat peserta di Surabaya tersebut bahwa tanggung jawab pelaksanaan good corporate governance secara benar dan profesional terletak di pundak dewan direksi dan dewan komisaris.
Melihat Cokelat Cadbury, Ingat Good Corporate Governance!
Posted by DJAJENDRA
artikel Good Corporate Governance, artikel motivasi

Sekitar tahun 1994, saya dikirim oleh Rabobank Indonesia ke kantor pusatnya di Utrecht, Belanda, untuk mengikuti pertemuan Internal Auditor Rabobank sedunia. Pada saat itu, pembicaraan tentang bisnis etik, good governance, code of conduct, dan the best practices mulai menjadi sebuah isu panas yang sangat antusias untuk dibicarakan. Apalagi kami yang berkumpul adalah para auditor, yang pasti sangat berharap the best practices untuk bisa diwujudkan segera di tempat kerja kami.
Ada sebuah nama yang sangat popular pada saat itu, yaitu Sir George Cadbury Hayhurst Adrian, beliau adalah Direktur Bank Inggris dari 1970-1994. Nama Cadbury menjadi sangat popular dalam pertemuan kami tersebut. Sebab, saat itu beliau menjadi pelopor dalam meningkatkan kesadaran dan mendorong implementasi tentang tata kelola perusahaan yang sehat, jujur, terbuka, dan beretika. Untuk itu, di sekitar bulan Desember, tahun 1992, beliau mengeluarkan Code of Best Practice (Cadbury Report and Code). Cadbury Report and Code akhirnya menjadi kode praktek bisnis terbaik, yang sekarang ini digunakan sebagai dasar untuk mereformasi tata kelola perusahaan di seluruh dunia, dan di kenal dengan nama Good Corporate Governance.
Cadbury lahir pada tahun 1929, beliau adalah anggota keluarga Cadbury yang dikenal sebagai konglomerat coklat. Anda pasti sering melihat pajangan cokelat Cadbury di hampir semua minimarket dan supermarket di Indonesia. Nah, ingat! Kalau Anda melihat cokelat Cadbury, Anda harus ingat untuk menjalankan good corporate governance dengan sepenuh hati di perusahaan Anda.
Dalam pertemuan di Utrecht, kami selalu bercanda soal cokelat Cadbury yang dihubungkan dengan the best practices. Canda kami pada 16 tahun yang lalu itu, sampai sekarang masih melekat di pikiran saya, sehingga saya tidak pernah melupakan apa itu good governance dengan the best practices nya

GCG – Di Saat Anda Harus Berbohong Untuk Mempertahankan Pekerjaan.
Posted by DJAJENDRA

“Pekerjaan Yang Anda Lakukan Tidaklah Berdiri Sendiri, Tapi Didalamnya Ada Hak Dan Kepentingan Para Stakeholders.” – Djajendra
Apa yang akan Anda lakukan di saat perusahaan meminta Anda untuk mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang berpotensi melanggar etika dan yang bersifat berbohong? Apakah Anda mau mengorbankan kejujuran Anda demi mempertahankan pekerjaan Anda? Apakah Anda mau mengambil risiko untuk mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan tersebut? Atau Anda akan bersikap tegas untuk meninggalkan perusahaan dan pekerjaan Anda?
Perilaku berbohong adalah perilaku yang tidak disukai oleh siapa pun. Tetapi, di saat perusahaan tempat Anda mencari kehidupan menyuruh Anda untuk berbohong, maka pilihan Anda ada pada hati nurani Anda. Bila hati nurani Anda sepakat dengan keinginan perusahaan, maka kemungkinan Anda akan mendapatkan berbagai fasilitas dan kompensasi yang memperkaya sisi keuangan dan materi Anda. Di sisi lain, bila hati nurani Anda menolak semua perintah perusahaan yang bersifat berbohong, maka Anda berpotensi disingkirkan dari perusahaan. Memang pilihan yang sulit, tapi realitas di dunia bisnis selalu menuntut perusahaan untuk berbohong. Hal ini disebabkan oleh sangat beragamnya niat dan kepentingan stakeholders yang ada di dalam dan di luar perusahaan.
Di dalam pelatihan di internal perusahaan hal-hal yang menyangkut etika dan hukum selalu menjadi bahan diskusi yang sangat sulit untuk mendapatkan jawaban. Oleh karena itu, semua kelas pelatihan saya bersifat tertutup, dan hasil diskusi hanya untuk memberikan pencerahan kepada satu perusahaan. Saya pun tidak pernah mengambil video untuk dokumentasi saya, hanya peserta yang berhak untuk mendokumentasikan acara pelatihan tersebut. Sikap saya ini bertujuan untuk mendorong para peserta agar bisa bersikap jujur dan mampu mengekspresikan persoalan-persoalan di internal mereka untuk mendapatkan saran dan tips yang membesarkan semangat dan kerja keras mereka. Saya sangat menghormati kerja keras seseorang untuk mempertahankan pekerjaan dan kehidupannya.
Sebuah kejujuran bila tidak terlalu penting dan tidak banyak manfaatnya buat kesejahteraan dan keadilan kehidupan, maka sebaiknya kejujuran tersebut tidak perlu dipertahankan dengan mengorbankan pekerjaan. Oleh karena itu, di saat Anda harus berbohong, coba renungkan dulu, apakah memang ada manfaatnya untuk mengungkapkan kebenaran Anda kepada orang lain? Apakah kebenaran yang Anda pikirkan tersebut manfaatnya sebanding dengan risiko yang menyertai sikap Anda? Anda harus menjadi pribadi yang cerdas secara empati untuk melihat kebenaran sejati di sekeliling tempat kerja Anda.
Pesan yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah jangan terlalu kaku untuk mempertahankan kebenaran versi Anda di tempat kerja, coba kembangkan wawasan Anda seluas mungkin untuk memahami kepentingan dan kebenaran versi orang-orang lain. Sebab, pekerjaan yang Anda lakukan tidaklah berdiri sendiri, tapi didalamnya ada hak dan kepentingan para stakeholders yang mungkin berbeda sikap dan persepsi dengan Anda.
Kebenaran tidak selalu akan menjadi benar. Kebenaran yang penuh risiko berbahaya pasti akan menjadi hal tersulit untuk diungkapkan. Apalagi bila kebenaran yang Anda pikirkan itu tidak menguntungkan siapa pun.
Yang perlu selalu Anda pahami adalah kekuasaan yang kuat bisa merekayasa kebohongan menjadi kebenaran, atau bisa merekayasa ketidakjujuran menjadi jujur. Oleh karena itu, sikap Anda di tempat kerja harus diperkuat dengan wawasan yang luas, yang penuh empati dan toleransi, untuk membuat kebenaran versi stakeholders tetap menjadi rahasia perusahaan yang tabu untuk dibicarakan.
GCG – Keunggulan Dewan Direksi Dan Dewan Komisaris
Posted by DJAJENDRA

“Good Corporate Governance Lahir Dan Berkembang Sebagai Respons Terhadap Kegagalan Korporasi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Dan Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Para Stakeholders.” – Djajendra
Salah satu fungsi utama dari good corporate governance adalah membangun tata kelola perusahaan yang efektif dan dinamis. Diperlukan keunggulan dewan direksi dan dewan komisaris untuk memiliki integritas, transparansi, akuntabilitas, dan kemampuan berkomunikasi dengan semua pihak, agar kinerja dan prestasi perusahaan dapat mencapai hasil terbaik.
Peran dan tugas dari direksi dan komisaris menjadi sangat penting di dalam dan di luar perusahaan. Hal ini mengharuskan direksi dan komisaris wajib memiliki kualitas dan kompetensi untuk menjalankan peran dalam fungsi perencanaan, operasional, monitoring, strategik, evaluasi, dan pengawasan dengan efektif. Bila tidak memiliki kualitas dan kompetensi, maka implementasi good corporate governance berpotensi menjadi bad corporate governance.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus bekerja dengan sepenuh hati dan tepat waktu, dengan wawasan yang diterangi oleh pikiran dan perasaan positif. Sikap sepenuh hati, tepat waktu, pikiran dan perasaan positif akan menciptakan integritas untuk mengatur perusahaan dalam rangka untuk memaksimalkan kinerja organisasi dan bisnis perusahaan.
Masa depan tata kelola perusahaan yang bersih, jujur, profesional, dan efektif terletak pada niat dewan direksi dan dewan komisaris. Sebab, kedua dewan tersebut memiliki kekuasaan dan kekuatan tertinggi di dalam semua aspek organisasi, bisnis, dan sumber daya perusahaan.
Perlu dipahami, konsep good corporate governance lahir dan berkembang sebagai respons terhadap kegagalan korporasi dalam mengatasi krisis ekonomi dan kejahatan yang dilakukan oleh para stakeholders. Oleh karena itu, dewan direksi dan dewan komisaris wajib memiliki kualitas integritas di semua aspek kehidupan. Artinya, harus menjadi orang-orang yang jujur, bersih, cerdas, terbuka, profesional, dan efektif; agar good corporate governance bisa berjalan sesuai semangat dan prinsip nya.
Integritas dewan direksi dan dewan komisaris untuk bekerja sesuai undang-undang, peraturan, dan praktek bisnis yang beretika dan bermoral, akan menentukan kesuksesan perusahaan dalam menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance dengan berkualitas. Bila integritas hilang, maka jangan berharap good corporate governance bisa menyemangati aktivitas perusahaan.
Tanggung jawab tertinggi dalam pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance terletak di pundak dewan direksi dan dewan komisaris. Artinya, dewan direksi dan dewan komisaris tidak boleh melepas tanggung jawab kepada karyawan. Dewan direksi dan dewan komisaris harus bertindak sebagai poros utama untuk menegakkan semua aspek pendukung good corporate governance dengan sempurna dan berkualitas.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus bekerja keras dan efektif untuk mempromosikan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, integritas, profesionalisme, kepatuhan pada undang-undang dan peraturan kepada setiap karyawan dan manajer; agar para karyawan dan manajer mampu bekerja dengan berkualitas untuk memaksimalkan dan memakmurkan kekayaan stakeholders melalui integritas dan reputasi yang terpuji.
SUMBER: www.djajendra-motivator.com
CONTOH TULISAN GCG
Artikel:
GOOD CORPORATE GOVERNANCE:
Berhasilkah Diterapkan di Indonesia?

Tanggal: 23 Oktober 2003
Judul Artikel: GOOD CORPORATE GOVERNANCE: Berhasilkah Diterapkan di Indonesia?
Topik: Behavior Accounting

ABSTRACT
This research try to explore wether the good corporate governance concept (GCG) can be implemented by the companies listed in Jakarta Stock Exchange (JSX), especially the companies which listed in the Good Corporate Governance Index. Good corporate governance is a concept emphasizing the importance of (1) the user right of financial statement to get the information acuratly and timely (2) the company management liability to provide the information acuratly and perform the company fundamental value. Thus, the earnings management which mislead the user of financial statement is contrary with the GCG concept. The test can provide evidence that the implementation of GCG in Indonesia can not give the result significantly. It is indicated that there is no difference of the discretionary accruals mean value before and after the implementation of GCG significantly.

Keywords: good corporate governance, earnings management, discretionary accruals.

Pendahuluan
Dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir konsep good corporate governance (GCG) sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat (Sulistyanto & Lidyah, 2002). Konsep ini diharapkan dapat melindungi pemegang saham (stockholders) dan kreditur agar dapat memperoleh kembali investasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan penyebab krisis ekonomi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, adalah (1) mekanisme pengawasan dewan komisaris (board of director) dan komite audit (audit committee) suatu perusahaan tidak berfungsi dengan efektif dalam melindungi kepentingan pemegang saham dan (2) pengelolaan perusahaan yang belum profesional. Sehingga penerapan konsep GCG di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders.

Good corporate governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparans terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder (YPPMI & SC, 2002). Atau secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan (Beasly et al., 1996). Chtourou et al. (2001) juga mencatat prinsip GCG yang diterapkan dengan konsisten dapat menjadi penghambat (constrain) aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

Rekayasa kinerja yang dikenal dengan istilah earnings management ini sejalan dengan teori agensi (agency theory) yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (principles) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada profesional (agents) yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha (YPPMI & SC, 2002). Namun pemisahaan ini mempunyai sisi negatif, keleluasaan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung pemilik perusahaan. Kondisi ini terjadi karena asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk memonitor tindakan manajemen (Richardson, 1998; DuCharme et al., 2000). Rekayasa ini merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkannya (Healy & Wahlen, 1998; DuCharme et al., 2000). Sehingga secara prinsipil manipulasi ini tidak sejalan dengan semangat GCG.

Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan. Selain itu, kewajiban penerapan prinsip GCG seharusnya mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang dipublikasikan. Maka atas dasar uraian tersebut dan sejalan dengan penelitian Chtourou et al. (2001), penelitian ini ingin menguji apakah penerapan prinsip GCG mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan yang diukur dari keberhasilan ditekannya upaya rekayasa yang dilakukan manajemen.

B. Perumusan Masalah
Secara empiris terbukti bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan menjadi constrain bagi aktivitas rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen. Secara teoritis rekayasa yang dikenal dengan istilah earnings management ini bertujuan untuk menyesatkan pemakai laporan keuangan yang ingin mengetahui kinerja perusahaan dan untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi. Rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya keterbukaan, akuntabilitas, dan transparansi informasi yang akurat dan menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sehingga penerapan prinsip GCG di Indonesia sebenarnya diharapkan juga mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang tercermin dari menurunkan tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen. Maka berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitiaan ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada perbedaan antara rekayasa keuangan sebelum dan sesudah penerapan prinsip-prinsip good corporate governance?

C. Tujuan Penelitian
Rekayasa kinerja sebenarnya merupakan fenomena yang logis karena kesuperioran manajemen dalam menguasi informasi seputar perusahaan dibandingkan pihak lain. Namun dalam kerangka economy recovery, rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG) yang menekankan pentingnya akurasi dalam melaporkan informasi mengenai perusahaan. Keakuratan ini penting agar informasi yang disampaikan dapat menggambarkan nilai fundamental perusahaan yang sesungguhnya, sehingga pemakai laporan keuangan dapat membuat keputusan yang lebih tepat. Sehingga dari uraian tersebut penelitian ini bermaksud menguji dan mencari bukti empiris apakah penerapan prinsip GCG di Indonesia telah memberikan hasil yang menggembirakan yang ditinjau dari turunnya tingkat rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen ketika melaporkan kinerjanya. Atau dengan kata lain, ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip GCG.

D. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pemakai laporan keuangan memberi kesempatan dan mendorong manajemen bersikap oportunis dengan memperbaiki profil laba akuntansi (Richardson, 1998; Chambers, 1999). Sikap oportunis ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG), karena rekayasa keuangan mengakibatkan informasi yang disampaikan menjadi tidak akurat dan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sikap oportunis ini dinilai sebagai sikap curang (fraud) manajemen yang diimplikasikan dalam laporan keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice (Beneish, 2001). Sikap curang tersebut didefinisikan sebagai satu atau lebih tindakan yang disengaja yang didesain untuk menipu orang lain yang menyebabkan kehilangan kekayaannya (financial). Keberhasilan dari sikap ini dinilai ketika manajemen berhasil menyesatkan pemakai laporan keuangan dalam menilai perusahaannya.

Walaupun "logis" dilakukan manajemen karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi, rekayasa ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya hak pemakai laporan keuangan untuk memperoleh informasi yang akurat dan kewajiban perusahaan untuk memberikan informasi yang akurat (YPPMI & SC, 2002). Chtorou et al. (2001)-dalam penelitiannya yang menguji apakah praktik corporate governance mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas informasi keuangan yang dipublikasikan-menyimpulkan bahwa penerapan prinsip GCG akan menjadi kendala (constrain) aktivitas earnings management. Penelitian tersebut menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa yang dilakukan manajemen. Beasly et al. (1996) dan Abbott et al. (2000) yang menduga ada hubungan antara penerapan corporate governance dengan berkurangnya kecurangan pada pelaporan keuangan (financial reporting) membuktikan meningkatnya kualitas laporan keuangan karena penerapan prinsip tersebut secara konsisten.

Banyak penelitian yang menguji hubungan antara karakteristik komite audit (committee audit) dan dewan komisaris (board of directors)-syarat penting daalam GCG-dengan upaya earnings management sebagai ukuran keberhasilan penerapan prinsip GCG (Chtourou et al., 2001). Carcello & Neal (2000) dengan menguji proporsi independensi komite audit (committe audit) menyimpulkan adanya hubungan positif antara komite tersebut dengan berkurangnya tekanan manajemen terhadap komite audit pada saat menyusun laporan keuangan. Independensi komite audit merupakan salah satu ukuran penerapan prinsip GCG selain kompetensi dan aktivitas komite audit. Sehingga dapat dikatakan bahwa independensi komite audit mempunyai hubungan positif dengan level rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen (Westphal & Zajac, 1997). Sejalan dengan kesimpulan tersebut, Dezoort & Salterio (2001) juga menyimpulkan bahwa komite audit akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap rekayasa yang dilakukan manajemen.

Sementara dengan menguji kompetensi anggota komite audit, McMullen & Randghun (1996) menyimpulkan adanya hubungan positif antara kompetensi tersebut dengan menurunnya kemungkinan dilakukannya earnings management. Atau dengan kata lain, semakin kompeten komite audit akan semakin mengurangi kemungkinan praktik rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen.

Selain komite audit, dewan komisaris (board of directors) juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable. Sehingga secara teoritis keberadaan dewan ini akan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Sejalan dengan hal tersebut Beasly (1996) dan Abbots et al. (2000) menguji apakah besarnya dewan komisaris (board size) mempunyai hubungan yang positif dengan kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Penelitian tersebut tidak menemukan hubungan antara kedua hal tersebut, karena semakin besar dewan direktur semakin tidak efisien dan semakin lemah kontrolnya terhadap manajemen. Lebih lanjut dewan komisaris yang independensi secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Beasly (1996) juga menemukan hubungan negatif antara besarnya non-executif members dengan tingkat kecurangan tersebut. Sehingga secara singkat dapat dikatakan ada hubungan negatif antara proporsi independensi dewan komisaris dengan level manipulasi yang dilakukan manajemen. Demikian juga kompetensi dewan komisaris yang mempunyai hubungan negatif dengan level manipulasi tersebut. Atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris, semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Maka berdasar uraian di atas, hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

H: Ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance.

E. Metode Penelitian
1. Sampel dan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan keuangan (annual report) tahun 1995-2000 perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah multiple purposive sampling, dengan kriteria: § Perusahaan yang masuk dalam daftar Corporate Governance Perception Index (CGPI), yaitu daftar yang dibuat oleh The Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG). Pemilihan sampel penelitian dari daftar ini karena perusahaan-perusahaan ini mempunyai pemahaman yang baik dan telah melaksanakan prinsip-prinsip GCG. § Perusahaan non-lembaga keuangan, dengan tujuan untuk mengantisipasi kemungkinan pengaruh regulasi tertentu yang dapat mempengaruhi variabel penelitian.

TABEL 1
Sampel Penelitian

Identifikasi Perusahaan Jumlah
Perusahaan yang masuk dalam daftar CGPI 52
Perusahaan lembaga keuangan (9)
Data laporan keuangan tidak lengkap (19)
Jumlah Sampel 24
Sumber: data sekunder diolah, 2002.

2. Definisi dan Pengukuran Variabel
Penelitian ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Discretionary accruals merupakan selisih antara total accruals dan nondiscretionary accruals. Sedangkan total accruals merupakan selisih antara net income dan cash flow from operations. Total akrual dipecah menjadi komponen discretionary accruals dan nondiscretionary accruals dengan menggunakan modified Jones model (Dechow et al.,1995). Model ini dipakai karena paling baik dalam mendeteksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen dan memberikan hasil paling robust (Guay et al., 1996; Teoh et al., 1997; Rajgopal et al., 1999).

AC = Net income - Cash flows from operations

Current accruals (CA) didefinisikan sebagai perubahan dalam noncassh current assets dikurangi perubahan dalam operating current liabilities atau dihitung sebagai berikut:

CA = D(current assets-cash) - D(current liabilities-current maturity of long-term debt)

Nondiscretionary accruals (NDA) merupakan accruals yang diekspektasi dengan menggunakan modified Jones model. Expected current accruals sebuah perusahaan ditahun tertentu diestimasi dengan menggunakan cross-sectional ordinary least squere (OLS) regression terhadap current accruals dan perubahan penjualan.

Nondiscretionaty accruals (NDA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept untuk perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1
DSales = Perubahan penjualan
DTR = Perubahan dalam piutang dagang

Discretionary current accruals (DCA) untuk sebuah perusahaan pada tahun tertentu dihitung sebagai berikut:

Untuk menghitung discretionary dan nondiscretionary long-term accruals (DLTA dan NDLTA) , harus menghitung discretionary dan nondiscretionary total accruals (DTA dan NDTA). Discretionary total accruals (NDTA) sebuah perusahaan ditahun tertentu dihitung meregresi total accruals (AC) sebagai dependen variabel dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai additional explanatory variable.

Nondiscretionary total accruals (NDTA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
PPE = Gross property, plant, and equipment
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1

3. Metode Analisis
§ Analisis Deskripstif. Untuk mengestimasi nilai NDTAC dan NDCA dilakukan regresi terhadap nilai perubahan penjualan (change in sales), perubahan piutang dagang, dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai variabel independennya. Dari nondiscretionary accruals tersebut dihitung discretionary accruals.

§ Uji Beda. Uji beda dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah diterapkannya prinsip-pinsip GCG untuk mengetahui tingkat penurunan rekayasa yang dilakukan manajemen. Untuk cut off waktu penerapan prinsip GCG digunakan tulisan dalam buku "The Essence of Good Corporate Governance" yang menyebutkan prinsip tersebut diterapkan di Indonesia sejak ditandatanganinya LOI antara Indonesia dan IMF, yaitu tahun 1998 (YPPMI & Sinergy Communication, 2002: 173). Sehingga periodesasi penerapan prinsip GCG dilakukan sebagai berikut:
1. Tahun 1996-1997 merupakan periode sebelum diterapkannya prinsip GCG.
2. Tahun 1998 dipakai sebagai cut off periode penerapan prinsip GCG.
3. Tahun 1999-2000 merupakan periode kewajiban penerapan prinsip GCG.

F. Hasil dan Analisis
Dengan menggunakan modified Jones model untuk memisahkan total accruals menjadi discretionary accruals dan nondiscretionary accruals. Penelitian menggunakan discretionary accruals perusahaan sampel selama lima tahun, yaitu tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) sebagai periode sebelum diterapkannya prinsip-prinsip GCG, tahun 1998 (t) sebagai tahun munculnya kewajiban penerapan prinsip GCG, serta 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) sebagai periode kewajiban penerapan prinsip GCG. Hasil penghitungan discretionary accruals ditunjukkan di Tabel 2.

TABEL 2
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan

t-2 t-1 t t+1 t+2
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Tabel 3 menunjukkan nilai mean dan median discretionary accruals selama periode bernilai negatif. Hal ini merupakan indikasi bahwa rekayasa yang dilakukan manajemen bersifat income decreasing. Kondisi ini terjadi karena kemungkinan besar manajemen bersikap konservatif dalam melaporkan kinerjanya, yaitu dengan mengakui biaya masa depan (future cost) menjadi biaya sekarang (current cost) yang mengakibatkan kinerja lebih rendah dari kinerja fundamentalnya. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa nilai discretionary accruals tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) (-25009.92 dan -222806.60) lebih tinggi dibanding dengan nilai discretionary accruals tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) (-310024.20 dan -331029.60). Penurunan nilai discretionary accruals yang mencolok ini di tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) kemungkinan besar karena pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Tahun 1998 (t) mempunyai nilai discretionary accruals paling rendah, yaitu -376456.40. Hal ini terjadi karena kemungkinan besar pada tahun tersebut krisis ekonomi di Indonesia mencapai puncaknya.

GRAFIK 1
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan

Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Selanjutnya discretionary accruals akan dipecah menjadi dua, yaitu discretionary current accruals-akrual yang dihitung dari aktiva lancar-dan discretionary long-term accruals-akrual yang dihitung dari aktiva tetap. Pemecahan ini untuk mengidentifikasikan apakah rekayasa keuangan yang dilakukan terhadap aktiva lancar ataukah aktiva tetap. Hasil pemecahan ditunjukkan di Tabel 3.

TABEL 3
DCA dan DLTA Selama Periode Pengamatan

t-2 t-1 t t+1 t+2
Discretionary Cuurent Accruals (DCA)
Mean -0.0560 -0.0210 -0.0260 -0.0130 0.0106
Median 0.0000 -0.0210 -0.0110 -0.0510 0.0384
Discretionary Long-term Accruals (DLTA)
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Tabel 3 menunjukkan nilai DLTA untuk semua periode pengamatan selalu lebih besar daripada nilai DCA. Hal ini mengindikasikan manajemen cenderung memilih menggunakan item yang aktiva tetap (dan aktiva jangka panjang) untuk melakukan rekayasanya. Selanjutnya uji beda (t-test) akan dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance pada tahun 1998. Nilai discreationary accruals sebelum penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t-2 dan t-1 (1996 dan 1997). Sedangkan nilai discretionary accruals sesudah penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t+1 dan t+2 (1999 dan 2000). Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 4.

T ABEL 4
Uji Beda Sebelum dan Sesudah Penerapan GCG

p-value t-value
Sebelum-sesudah 0.291 -1.081
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Keterangan : * : Signifikan pada level 0.05 (2 sisi)
** : Signifikan pada level 0.10 (2 sisi)
Hasil pengujian terhadap discretionary accruals menunjukkan discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance tidak berbeda secara signifikan. Nilai p-value 0.291 dan t-value -1.081 mengindikasikan tidak ada perbedaan yang signifikan antara rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip GCG.

G. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mendukung dugaan bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) secara signifikan akan mengurangi upaya rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Namun penelitian ini tidak berhasil membuktikan dugaan tersebut, karena dari hasil uji beda terbukti tidak adanya perbedaan tingkat rekayasa antara sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip tersebut, sehingga bisa disimpulkan bahwa GCG belum berhasil diterapkan di Indonesia. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu yang menguji hubungan penerapan prinsip tersebut dengan rekayasa (earnings management) yang dilakukan manajemen perusahaan, misalnya Beasly (1996), McMullen & Randghun (1996), Westphal & Zajac (1997), Abbott et al. (2000), Carcello & Neal (2000), Chtourou et al. (2001), Dezoort & Salterio (2001). Selain hasil tersebut, hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu (1) manajemen memilih menggunakan item aktiva tetap dan jangka panjang sebagai dasar rekayasa keuangan dan (2) manajemen menggunakan earnings management berpola income decreasing (penurunan laba) untuk melakukan rekayasanya yang diindikasikan dari nilai discretionary accruals yang negatif. Sedangkan setelah tahun 1998, income decreasing yang terjadi kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997-an.

H. Keterbatasan dan Implikasi
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah: (1) data yang digunakan relatif sedikit yang disebabkan peneliti kesulitan memperoleh data dalam jangka panjang untuk perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar Perception Index of Corporate Governance (PICG) dan (2) cut off waktu pemisahan periode sebelum dan sesudah penerapan prinsip-prinsip good corporate governance secara metodologis masih lemah karena menggunakan asumsi. Implikasi dari keterbatasan tersebut adalah (1) menghilangkan pengaruh krisis ekonomi yang mempunyai kemungkinan mempengaruhi variabel penelitian dan (2) membandingkan manipulasi yang dilakukan perusahaan sampel dengan perusahaan yang tidak masuk daaaalam daftar PICG (matched pair design). Selain hal tersebut, penelitian diharapkan dapat dapat menjadi masukan bagi pemerhati dan pembuat keputusan yang berkaitan dengan penerapan GCG di Indonesia.

I. Daftar Pustaka
Abbott. L.J., S. Parker, dan G.F. Peters, 2000, "The Effectiveness of Bluer Ribbon Committee Recommendations in Mitigating Financial Misstatement: An Empirical Studi", Working paper.

Beasly, C., M. Defond, J. Jiambalvo, dan K.R. Subramanyam, 1998, " The Effect of Audit on The Quality of Earnings Management", Contemporary Accounting Research, 15 (Spring).

Beneish, Messod D., 2001, "Earnings Management: A Perspective", Working paper, April.

Carcello, J.V. dan T.L. Neal, 2000, "Audit Committee Characteristics and Auditor Reporting", The Accounting Review, 75 (Oktober)

Chtourou, Sonda Marrakchi, Jean Bedard, dan Lucie Courteau, 2001, "Corporate Governance and Earnings Management", Working paper, April.

Chambers, Dennis J., 1999, "Earnings management and Capital Market Misallocation", Working paper, Desember.

DeFond, Mark L., dan James Jiambalvo, 1994, "Debt Covenant Violation and Manipulation of Accruals", Journal of Accounting and Economics, 17.

Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan dan Amy P. Sweeny, 1995, "Detecting Earnings Management", The Accounting Review, 7(2), April.

Dechow, Patricia M., 1994, "Accounting Earnings and Cash Flows as Measures of Firm Performance: The Role of Accounting Accruals", Journal of Accounting and Economics, (18).

Dezoort, F.T. dan S. Salterio, 2002, " The Effects of Corporate Governance Experience and Financial Reporting and Audit Knowledge on Audit Committee Members' Judgments", Auditing: A Journal of Practice & Theory, 21 (Fall): Forthcoming.

Friedlan, J., 1994, "Accounting Choices by Issuers of Initial Public Offerings", Comtemporery Accounting Research, Summer.

Hall, Steven C., dan William W. Stammerjohan, 1997, "Damage Awards and Earnings Management in The Oil Industry", The Accounting Review, 72 (1), Januari .

Healy, Paul M., dan James M. Wahlen, 1998, "A Review of the Earnings Management Literature and Its Implications for Standard Setting", Working paper.

Kim, Jeong Bong, I. Krisky dan J.Lee, 1993, "Motives for Going Public and Underpricing: New Findings From Korea", Journal of Business Financial and Accounting, 20(2), Januari.

Luhukay, Jos, 2002, "Tata Pamong dan Nilai Perusahaan", Warta Ekonomi, No. 21/XIV/2 September.

Mayangsari, Sekar, dan Murtanto, 2002, "Reaksi Pasar Modal Indonesia Terhadap Pembentukan Komite Audit", Proceeding Simposium Surviving Strategies to Cope With the Future, Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

McCulloch, Brian W., 1998, "Relation Among Component of Accruals Under Earnings Management", Working paper, September.

McMullen, D. A. dan K. Raghundan, 1996, "Enhancing Audit Committee Effectiveness", Journal of Accountancy, 182 (Agustus).

Morris, Richard D., 1987, "Signalling, Agency Theory and Accounting Policy Choice", Accounting and Business Research, Vol.18, No.69.

Perry, Susan E, dan Thomas H. William, 1994, "Earning Management Preceding Management Buyout Offers", Journal of Accounting and Economics, 18.

Rafick, Ishak, 2002, "Menggugat Fungsi Komisaris Independen", SWA, No.15/XVII/15 Juli-7 Agustus.

Richardson, Vernon J., 1998, "Information Asymmetry ans Earnings Management: Some Evidence", Working paper, 30 Maret.

Ritter, Jay R., 1991, "The Long-run Performance of Initial Public Offering", Journal of Finance, XLVI (1).

Simanjuntak, Djisman S., 1999, "An Inquiry Into the Nature, Causes and Consequences of the Indonesian Crisis", Journal of the Asia-Pasific Economy, Vol.4 No.1.

Simanjuntak, Djisman S., 2002, "Good Corporate Governance in Post-crisis Indonesia: Initial Conditions, Windows of Opportunity and Reform Agenda", Working paper.

Sulistyanto, H. Sri, dan Rika Lidyah, 2002, "Good Governance: Antara Idealisme dan Kenyataan", MODUS, Vol.14 (1), Februari.

Sulistyanto, H. Sri, 2002, "Analisis Manajemen Laba Pada Saat Initial Public Offerings: Indikasi Sikap Oportunistik Manajemen", Tesis, Program Pasca Sarjana UGM.

Sulistyanto, H. Sri, dan Meniek S. Prapti, 2003, "Good Corporate Governance: Bisakah Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat, EKOBIS, Vol.4/No.4/Januari.

Teoh, Siew Hong, T.J. Wong, Gita R. Rao, 1997, "Are Accruals During An Initial Public Offering Opportunististic?", Working paper, Juli.

The Business Roundtables (BRT), 2002, "Principles of Corporate Governance", A white paper, Mei.

Sweeney, Amy Patricia, 1994, "Debt-covenant Violations and Managers Accounting Responses", Journal of Accounting and Economics, 17.

Warta Ekonomi, No. 21/XIV/2 September 2002.

Wright, D.W., 1996, "Evidence on The Relation Between Corporate Governance Characteristics and The Quality of Financial Reporting", Working paper.

J. Daftar Sampel
No. Nama Perusahaan Indeks
1 Tambang Timah Tbk. 78.94
2 Astra International Tbk. 77.19
3 Medco Energi International Tbk. 69.94
4 Matahari Putar Prima Tbk. 66.06
5 Kalbe Farma Tbk. 65.19
6 Astra Graphia Tbk. 65.00
7 Dankos Laboratories Tbk. 64.75
8 Komatsu Indonesia Tbk. 59.44
9 Gajah Tunggal Tbk. 51.13
10 Telkom Tbk. 48.94
11 Indosat Tbk. 41.94
12 Barito Pasific Timber Tbk. 37.31
13 PP London Sumatera Plantation Tbk. 36.69
14 Indofood Sukses Makmur Tbk. 35.13
15 Mulia Industrindo Tbk. 33.94
16 Indocement Tunggal Perkasa Tbk. 31.00
17 Tempo Scan Pasific Tbk. 31.00
18 HM Sampoerna Tbk. 28.19
19 Multipolar Tbk. 25.50
20 Budi Acid Jaya Tbk. 22.06
21 Fajar Surya Wisesa Tbk. 21.94
22 Indorama Syntetics Tbk. 19.69
23 Gudang Garam Tbk. 16.69
24 Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. 14.69
Sumber: YPPMI & Sinergy Communication, 2002.