Jumat, 26 November 2010

1. Good Corporate Governance

Tugas Etika Profesi Akuntansi

Nama : Anil Amrosi
NPM : 21207261
Kelas : 4EB08
 
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
“Kekuasaan Tertinggi Dalam Hal Operasional Di Perusahaan Terletak Pada Dewan Direksi. Karena Itu, Dewan Direksi Harus Menjadi Contoh Positif Pelaksanaan Good Corporate Governance Di Perusahaan.”
Siapakah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan prinsip-prinsip dasar good corporate governance di perusahaan? Pertanyaan ini diajukan oleh seorang peserta yang mengikuti pelatihan GCG and Business Ethics di sebuah perusahaan di Surabaya pada awal bulan Mei 2010. Peserta tersebut berpendapat bahwa GCG harus didukung dari atas, dan bila tidak, maka GCG tidak mungkin bisa dijalankan dengan baik.
Saya sangat bersependapat dengan peserta tersebut, dan dia betul sekali bahwa pelaksanaan GCG harus didukung dengan sepenuh hati dalam integritas yang tinggi oleh dewan direksi dan dewan komisaris. Tanpa dukungan dewan direksi dan dewan komisaris, jangan pernah berharap prinsip-prinsip GCG bisa tumbuh dan berkembang secara sempurna di dalam organisasi.
Setiap fungsi, peran, dan perilaku kerja dari mulai pemilik, komisaris, direksi, manajer, dan karyawan harus tercerahkan untuk menjalankan prinsip-prinsip dasar GCG yang penuh integritas, kecerdasan, dan energi. Oleh karena itu, tidak sekedar cukup setiap orang di dalam perusahaan menandatangani fakta integritas, tapi juga diperlukan kecerdasan emosional untuk menjadi pribadi profesional yang bertanggung jawab penuh pada kinerja, prestasi, dan pertumbuhan perusahaan. Sebab, tujuan akhir dari good corporate governance adalah memaksimalkan nilai tambah bisnis perusahaan. Artinya, setiap orang di perusahaan tidak hanya harus bersikap terbuka, jujur, adil, bertanggung jawab, dan konsisten; tapi juga harus memiliki energi, kecerdasan, strategi, inovasi, kreativitas, dan efektivitas dalam upaya menciptakan nilai tambah bisnis dan non bisnis yang besar di perusahaan.
Dewan direksi harus membangun sistem untuk mengungkapan semua informasi yang relevan kepada para pemegang saham dan kreditur, termasuk menciptakan alat-alat analisis risiko bisnis yang sesuai dengan keadaan; membangun sistem, aturan, dan praktek yang memandu integritas setiap orang di perusahaan dengan cara-cara profesional dan wajar; membentuk komite-komite pendukung untuk menjaga independensi operasional perusahaan agar perusahaan bisa berjalan sesuai prinsip-prinsip good corporate governance;membentuk sistem pemantauan dan pengendalian manajemen yang fokus pada kualitas dan integritas.
Lingkungan tata kelola perusahaan sangat menentukan kualitas tata kelola perusahaan. Bila para pemegang saham, dewan komisaris, dewan direksi, manajemen puncak, karyawan, regulator, auditor, investor, pelanggan, pemasok, dan semua pemangku kepentingan sekunder lainnya memiliki integritas, profesionalisme, tanggung jawab, dan etika; maka dapat dipastikan prinsip-prinsip good corporate governance akan berjalan dengan sempurna.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus memberikan keteladanan dan contoh nyata kepada setiap orang dalam menjalankan etika bisnis secara konsisten. Termasuk, komitmen untuk patuh pada hukum, peraturan, dan perjanjian dengan setiap stakeholders. Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pendapat peserta di Surabaya tersebut bahwa tanggung jawab pelaksanaan good corporate governance secara benar dan profesional terletak di pundak dewan direksi dan dewan komisaris.
Good Corporate Governance
Posted by DJAJENDRA
artikel Good Corporate Governance
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
Posted by DJAJENDRA
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
Posted by DJAJENDRA
Good Corporate Governance Menghasilkan Kepercayaan
“Kepercayaan Adalah Kekuatan Yang Harus Diperjuangkan Melalui Nilai-Nilai Tata Kelola Perusahaan Yang Berintegritas Dan Beretika.” – Djajendra
Kepercayaan adalah dasar dari pembangunan bisnis yang berkelanjutan. Bila perusahaan Anda dipercaya oleh para stakeholders, maka perusahaan Anda akan memperoleh kesempatan tanpa batas untuk meraih sukses. Kehidupan bisnis adalah kehidupan yang saling tergantung dan perusahaan Anda harus memanfaatkan kondisi saling tergantung ini dengan cara menarik kepercayaan setiap stakeholders untuk memobilisasi sumber daya buat kesuksesan organisasi dan bisnis Anda.
Membangun kepercayaan berarti menegakan integritas dengan sebaik mungkin, dan salah satu cara yang paling efektif dalam menegakan integritas adalah melalui tata kelola perusahaan yang sehat dan profesional. Tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance akan menghasilkan hubungan ‘terpercaya’ antara perusahaan dan stakeholders. Bila sebuah hubungan sudah saling percaya dalam perilaku integritas tertinggi, maka segala kemudahan akan menghampiri perusahaan Anda.
Dalam realitas kerja, sering sekali para karyawan level menengah dan bawah suka bingung dan kehilangan akal sehat untuk menjalankan good corporate governance. Alasannya selalu klasik, yaitu persoalan integritas kepemimpinan untuk menjalankan tata kelola perusahaan secara konsisten dengan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, adil, tanggung jawab, mandiri, dan efektif. Kepemimpinan selalu menjadi alasan atas buruknya pelaksanaan good corporate governance. Padahal tata kelola perusahaan yang sehat hanya dapat dijalankan melalui tata kekuasaan atau tata pemerintahan yang berkualitas atas dasar etika dan integritas. Secara formal yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan atau memerintah perusahaan adalah dewan direksi. Artinya, dewan direksi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan nilai – nilai good corporate governance dijalankan secara murni dan konsisten. Sedangkan dewan komisaris harus memainkan peran strategisnya sebagai pengawas yang berperilaku atas dasar etika, tanggung jawab, dan integritas.
Sukses besar dalam implementasi good corporate governance hanya dapat dicapai melalui proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dewan direksi bersama-sama semua kekuatan organisasi wajib memperlihatkan integritas untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini harus terlihat dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan kunci, dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun untuk merusak tata kelola yang ada.
Budaya good corporate governance akan memiliki kekuatan untuk mengurangi korupsi, kolusi, kronisme, risiko, konflik kepentingan, dan agenda tersembunyi dari pihak mana pun. Budaya good corporate governance akan menghasilkan proses pengambilan keputusan yang berkualitas dan terkalkulasi secara risiko. Budaya good corporate governance akan membangun kepercayaan untuk perusahaan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Budaya good corporate governance akan menghasilkan budaya terbuka atau transparan. Artinya, setiap nilai, asumsi, persepsi, logika berpikir, filosofi, dan cara kerja dapat dievaluasi dan dibahas secara terbuka untuk tujuan mendapatkan kinerja perusahaan yang optimal.
Memantau Perilaku Kerja Karyawan
“Perkembangan Teknologi Di Kantor Mengharuskan Karyawan Untuk Menghilangkan Kepentingan Pribadi Di Kantor, Dan Meningkatkan Pelayanan Berkualitas Kepada Perusahaan Dan Stakeholders.” – Djajendra
Sekarang ini semakin banyak perusahaan yang memiliki kebijakan untuk memantau aktivitas kerja karyawan mereka secara elektronik. Kemajuan teknologi membuat setiap orang dapat dipantau dari jarak jauh. Dengan sistem kerja yang terintegrasi semua orang yang berwenang di kantor dapat memonitor tentang apa yang dilakukan oleh bawahannya. Voice mail, email, internet dari setiap karyawan di kantor masuk ke dalam sistem yang dapat dipantau oleh atasan. Artinya, para atasan memiliki hak untuk membaca email karyawannya, mendengarkan voice mail karyawannya, dan mencek pemakaian atau pemanfaatan internet karyawannya di kantor.
Sisi positif dari pemantauan aktif terhadap karyawan oleh sistem di perusahaan adalah menciptakan disiplin terhadap etos kerja, sedangkan sisi negatifnya adalah para karyawan merasa tidak bebas dan takut dinilai buruk. Akibatnya, tingkat stres dapat meningkat tajam di lingkungan tempat kerja.
Pemantauan aktif terhadap karyawan umumnya dilakukan untuk tujuan menjalankan konsep good governance dengan benar. Di sini, pemantauan terfokus kepada pelaksanaan etika bisnis dan etika kerja.Sebab, kedua hal tersebut dianggap memiliki tingkat risiko penyimpangan yang cukup tinggi, sehingga harus dibuat sebuah sistem kerja yang terintegrasi dalam konsep pengawasan yang terbuka.
Melalui sistem pemantauan ini diharapkan karyawan menjadi lebih patuh pada etika bisnis; karyawan lebih patuh pada kewajiban kerja; kinerja karyawan dapat dipantau secara terbuka dan adil; produktivitas karyawan dapat diukur secara adil dan terbuka; dan dapat menjaga keamanan informasi perusahaan dari penyalahgunaan.
Kebijakan perusahaan untuk memantau karyawan harus dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Hak-hak pribadi karyawan harus dijaga dan dihormati. Karyawan juga harus tahu bahwa mereka sedang dimonitor secara elektronik. Karyawan juga harus tahu hal apa dari perilaku mereka yang sedang dipantau dan untuk apa. Karyawan juga harus tahu apa yang dapat diterima dari perilaku mereka dan apa yang tidak dapat diterima oleh pimpinan dari perilaku mereka.
Pimpinan wajib memberikan pencerahan dan motivasi kepada setiap karyawan tentang manfaat positif dari kebijakan perusahaan untuk memantau perilaku kerja karyawan.
Di Saat Auditor Mengamati Budaya Perusahaan
Posted by DJAJENDRA
“Budaya Yang Berkualitas Mengkonfirmasi Kemanjuran Budaya Dalam Menciptakan Motivasi Buat Mendorong Setiap Orang Untuk Meraih Prestasi Tertinggi.” – Djajendra
Tempat kerja merupakan rumah buat para karyawan dan pimpinan di perusahaan untuk menciptakan kehidupan yang sehat, damai, bersih, bahagia, sejahtera, dan profesional. Oleh karena itu, rumah harus dijaga dan dirawat dengan prinsip dan nilai-nilai kerja yang berbudaya efektif, efisien, produktif, kualitas, melayani, toleransi, tanggung jawab, beretika, berintegritas, saling menghormati, dan saling bekerja sama untuk kejayaan stakeholders.
Saat saya bekerja di kantor akuntan publik, di saat mengaudit klien, saya berusaha untuk mendapatkan gambaran utuh tentang budaya organisasi klien. Untuk saya, budaya organisasi klien bisa menceritakan banyak hal sebelum saya fokus untuk mengaudit pada titik-titik persoalan yang berisiko tinggi.
Salah satu teknik audit yang saya gunakan adalah berkeliling di tempat kerja klien untuk mengamati dan menilai budaya organisasi klien. Secara diam-diam saya mencoba mengamati suasana kantor, mengamati kebersihan toilet, kantin, papan pengumuman, ruang kerja, ruang meeting, cara berpakaian karyawan dan pimpinan, absensi, cara bicara karyawan dan pimpinan, tempat penyimpanan data, dan hal-hal lain yang terlihat secara fisik. Ini adalah cara di mana saya dapat mengamati dan memahami budaya organisasi klien saya. Hasil penilaian saya tentang budaya organisasi klien akan memberi tahu saya tentang titik–titik persoalan yang dimiliki oleh manajemen. Dan, saya bisa memulai proses audit tanpa berbenturan dengan program audit yang telah kami siapkan sebelumnya.
Hasil pengamatan saya terhadap budaya organisasi klien akan memberikan energi tambahan buat naluri dan intuisi saya dalam melakukan pemeriksaan.
Dari pengalaman saya mengaudit para klien, saya menemukan bahwa hubungan antara budaya perusahaan dengan potensi risiko sangat akrab. Semakin berkualitas dan sempurna budaya perusahaan, semakin rendah potensi risiko di perusahaan tersebut. Artinya, budaya perusahaan sangat menentukan tingkat kesehatan perusahan. Budaya perusahaan yang hebat memperlihatkan energi, komitmen, perilaku, motivasi, dan kehidupan setiap orang di perusahaan terfokus untuk menghasilkan kinerja terbaik. Sebaliknya, budaya perusahaan yang berkualitas rendah memperlihatkan seolah-olah setiap orang diperusahaan sedang mengundang risiko untuk merusak kualitas manajemen, kualitas pekerja, kualitas keuangan, kualitas operasional, dan kualitas – kualitas lainnya.
Satukan Perilaku Kerja Anda Dengan Visi Dan Tujuan Besar Perusahaan Anda
Posted by DJAJENDRA

“Tanpa Visi Dan Tujuan Yang Jelas, Anda Akan Hilang Dan Tenggelam Dalam Kesibukan Kehidupan Rutinitas Anda.” – Djajendra
Di saat Anda sibuk bekerja bersama rutinitas dari tanggung jawab Anda; di saat Anda sibuk bertindak untuk memenuhi ambisi-ambisi pribadi Anda; di saat Anda berjuang total untuk mencapai target dan rencana terbesar dalam pekerjaan Anda, maka bertindaklah dalam visi dan tujuan perusahaan yang jelas dan terang. Jangan pernah bekerja dan bertindak tanpa visi dan tujuan yang jelas, sebab, nanti Anda akan hilang dan tenggelam dalam kesibukan kehidupan rutinitas kantor Anda.
Visi dan tujuan yang jelas dapat membantu Anda untuk menemukan rute perjalanan dalam mencapai impian besar perusahaan Anda. Artinya, visi dan tujuan akan menciptakan fokus yang lebih jelas buat meraih semua hasil yang diinginkan.
Suatu ketika di sekitar tahun 1990 an, di saat saya masih bekerja sebagai internal auditor di sebuah bank, di dalam sebuah rapat penemuan hasil audit, secara tiba-tiba pimpinan cabang bertanya tentang apa arti benar dan salah. Pimpinan cabang adalah orang marketing dan saya adalah auditor, dua kepentingan yang saling bertolak belakang. Auditor harus memahami benar dan salah sesuai sop audit. Pimpinan cabang harus memahaminya sesuai budget, target dan rencana cabang. Perbedaan antara auditor dan marketing terjadi karena tidak terinternalisasinya nilai-nilai dari visi dan tujuan besar perusahaan secara mendasar ke dalam mind set para pelaku kerja di lapangan. Auditor memiliki visi membuat perusahaan sehat dan kuat, dan harus bekerja dengan cara mencegah risiko sedini mungkin, agar tidak ada risiko yang membawa bencana buat perusahaan. Sedangkan pimpinan cabang memiliki visi untuk meningkatkan keuntungan pemegang saham, untuk itu, dia harus melayani kepentingan nasabah secara berkualitas dan mudah. Artinya, pimpinan cabang harus berani mengambil risiko untuk mewujudkan target dan rencana cabang. Kami semua telah bekerja sesuai tanggung jawab kami masing-masing, tapi kami tidak tercerahkan untuk memahami gambaran besar dari visi dan tujuan perusahaan yang sedang kami bangun tersebut.
Buatlah visi dan tujuan perusahaan bekerja untuk membantu perilaku kerja Anda bersama fungsi dan peran kerja lain. Jangan terlalu egois dan ngotot bersama tujuan dari fungsi kerja Anda, tapi dapatkan visi perusahaan dalam gambaran besar dan wawasan yang lebih luas untuk membuat perilaku kerja Anda menyatu menjadi satu kekuatan dengan kekuatan-kekuatan fungsi kerja lain di perusahaan.
Tanggung Jawab GCG Terletak Di Pundak Dewan Direksi dan Dewan Komisaris.
Posted by DJAJENDRA
artikel Good Corporate Governance

“Kekuasaan Tertinggi Dalam Hal Operasional Di Perusahaan Terletak Pada Dewan Direksi. Karena Itu, Dewan Direksi Harus Menjadi Contoh Positif Pelaksanaan Good Corporate Governance Di Perusahaan.” – Djajendra
Siapakah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan prinsip-prinsip dasar good corporate governance di perusahaan? Pertanyaan ini diajukan oleh seorang peserta yang mengikuti pelatihan GCG and Business Ethics di sebuah perusahaan di Surabaya pada awal bulan Mei 2010. Peserta tersebut berpendapat bahwa GCG harus didukung dari atas, dan bila tidak, maka GCG tidak mungkin bisa dijalankan dengan baik.
Saya sangat bersependapat dengan peserta tersebut, dan dia betul sekali bahwa pelaksanaan GCG harus didukung dengan sepenuh hati dalam integritas yang tinggi oleh dewan direksi dan dewan komisaris. Tanpa dukungan dewan direksi dan dewan komisaris, jangan pernah berharap prinsip-prinsip GCG bisa tumbuh dan berkembang secara sempurna di dalam organisasi.
Setiap fungsi, peran, dan perilaku kerja dari mulai pemilik, komisaris, direksi, manajer, dan karyawan harus tercerahkan untuk menjalankan prinsip-prinsip dasar GCG yang penuh integritas, kecerdasan, dan energi. Oleh karena itu, tidak sekedar cukup setiap orang di dalam perusahaan menandatangani fakta integritas, tapi juga diperlukan kecerdasan emosional untuk menjadi pribadi profesional yang bertanggung jawab penuh pada kinerja, prestasi, dan pertumbuhan perusahaan. Sebab, tujuan akhir dari good corporate governance adalah memaksimalkan nilai tambah bisnis perusahaan. Artinya, setiap orang di perusahaan tidak hanya harus bersikap terbuka, jujur, adil, bertanggung jawab, dan konsisten; tapi juga harus memiliki energi, kecerdasan, strategi, inovasi, kreativitas, dan efektivitas dalam upaya menciptakan nilai tambah bisnis dan non bisnis yang besar di perusahaan.
Dewan direksi harus membangun sistem untuk mengungkapan semua informasi yang relevan kepada para pemegang saham dan kreditur, termasuk menciptakan alat-alat analisis risiko bisnis yang sesuai dengan keadaan; membangun sistem, aturan, dan praktek yang memandu integritas setiap orang di perusahaan dengan cara-cara profesional dan wajar; membentuk komite-komite pendukung untuk menjaga independensi operasional perusahaan agar perusahaan bisa berjalan sesuai prinsip-prinsip good corporate governance;membentuk sistem pemantauan dan pengendalian manajemen yang fokus pada kualitas dan integritas.
Lingkungan tata kelola perusahaan sangat menentukan kualitas tata kelola perusahaan. Bila para pemegang saham, dewan komisaris, dewan direksi, manajemen puncak, karyawan, regulator, auditor, investor, pelanggan, pemasok, dan semua pemangku kepentingan sekunder lainnya memiliki integritas, profesionalisme, tanggung jawab, dan etika; maka dapat dipastikan prinsip-prinsip good corporate governance akan berjalan dengan sempurna.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus memberikan keteladanan dan contoh nyata kepada setiap orang dalam menjalankan etika bisnis secara konsisten. Termasuk, komitmen untuk patuh pada hukum, peraturan, dan perjanjian dengan setiap stakeholders. Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pendapat peserta di Surabaya tersebut bahwa tanggung jawab pelaksanaan good corporate governance secara benar dan profesional terletak di pundak dewan direksi dan dewan komisaris.
Melihat Cokelat Cadbury, Ingat Good Corporate Governance!
Posted by DJAJENDRA
artikel Good Corporate Governance, artikel motivasi

Sekitar tahun 1994, saya dikirim oleh Rabobank Indonesia ke kantor pusatnya di Utrecht, Belanda, untuk mengikuti pertemuan Internal Auditor Rabobank sedunia. Pada saat itu, pembicaraan tentang bisnis etik, good governance, code of conduct, dan the best practices mulai menjadi sebuah isu panas yang sangat antusias untuk dibicarakan. Apalagi kami yang berkumpul adalah para auditor, yang pasti sangat berharap the best practices untuk bisa diwujudkan segera di tempat kerja kami.
Ada sebuah nama yang sangat popular pada saat itu, yaitu Sir George Cadbury Hayhurst Adrian, beliau adalah Direktur Bank Inggris dari 1970-1994. Nama Cadbury menjadi sangat popular dalam pertemuan kami tersebut. Sebab, saat itu beliau menjadi pelopor dalam meningkatkan kesadaran dan mendorong implementasi tentang tata kelola perusahaan yang sehat, jujur, terbuka, dan beretika. Untuk itu, di sekitar bulan Desember, tahun 1992, beliau mengeluarkan Code of Best Practice (Cadbury Report and Code). Cadbury Report and Code akhirnya menjadi kode praktek bisnis terbaik, yang sekarang ini digunakan sebagai dasar untuk mereformasi tata kelola perusahaan di seluruh dunia, dan di kenal dengan nama Good Corporate Governance.
Cadbury lahir pada tahun 1929, beliau adalah anggota keluarga Cadbury yang dikenal sebagai konglomerat coklat. Anda pasti sering melihat pajangan cokelat Cadbury di hampir semua minimarket dan supermarket di Indonesia. Nah, ingat! Kalau Anda melihat cokelat Cadbury, Anda harus ingat untuk menjalankan good corporate governance dengan sepenuh hati di perusahaan Anda.
Dalam pertemuan di Utrecht, kami selalu bercanda soal cokelat Cadbury yang dihubungkan dengan the best practices. Canda kami pada 16 tahun yang lalu itu, sampai sekarang masih melekat di pikiran saya, sehingga saya tidak pernah melupakan apa itu good governance dengan the best practices nya

GCG – Di Saat Anda Harus Berbohong Untuk Mempertahankan Pekerjaan.
Posted by DJAJENDRA

“Pekerjaan Yang Anda Lakukan Tidaklah Berdiri Sendiri, Tapi Didalamnya Ada Hak Dan Kepentingan Para Stakeholders.” – Djajendra
Apa yang akan Anda lakukan di saat perusahaan meminta Anda untuk mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang berpotensi melanggar etika dan yang bersifat berbohong? Apakah Anda mau mengorbankan kejujuran Anda demi mempertahankan pekerjaan Anda? Apakah Anda mau mengambil risiko untuk mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan tersebut? Atau Anda akan bersikap tegas untuk meninggalkan perusahaan dan pekerjaan Anda?
Perilaku berbohong adalah perilaku yang tidak disukai oleh siapa pun. Tetapi, di saat perusahaan tempat Anda mencari kehidupan menyuruh Anda untuk berbohong, maka pilihan Anda ada pada hati nurani Anda. Bila hati nurani Anda sepakat dengan keinginan perusahaan, maka kemungkinan Anda akan mendapatkan berbagai fasilitas dan kompensasi yang memperkaya sisi keuangan dan materi Anda. Di sisi lain, bila hati nurani Anda menolak semua perintah perusahaan yang bersifat berbohong, maka Anda berpotensi disingkirkan dari perusahaan. Memang pilihan yang sulit, tapi realitas di dunia bisnis selalu menuntut perusahaan untuk berbohong. Hal ini disebabkan oleh sangat beragamnya niat dan kepentingan stakeholders yang ada di dalam dan di luar perusahaan.
Di dalam pelatihan di internal perusahaan hal-hal yang menyangkut etika dan hukum selalu menjadi bahan diskusi yang sangat sulit untuk mendapatkan jawaban. Oleh karena itu, semua kelas pelatihan saya bersifat tertutup, dan hasil diskusi hanya untuk memberikan pencerahan kepada satu perusahaan. Saya pun tidak pernah mengambil video untuk dokumentasi saya, hanya peserta yang berhak untuk mendokumentasikan acara pelatihan tersebut. Sikap saya ini bertujuan untuk mendorong para peserta agar bisa bersikap jujur dan mampu mengekspresikan persoalan-persoalan di internal mereka untuk mendapatkan saran dan tips yang membesarkan semangat dan kerja keras mereka. Saya sangat menghormati kerja keras seseorang untuk mempertahankan pekerjaan dan kehidupannya.
Sebuah kejujuran bila tidak terlalu penting dan tidak banyak manfaatnya buat kesejahteraan dan keadilan kehidupan, maka sebaiknya kejujuran tersebut tidak perlu dipertahankan dengan mengorbankan pekerjaan. Oleh karena itu, di saat Anda harus berbohong, coba renungkan dulu, apakah memang ada manfaatnya untuk mengungkapkan kebenaran Anda kepada orang lain? Apakah kebenaran yang Anda pikirkan tersebut manfaatnya sebanding dengan risiko yang menyertai sikap Anda? Anda harus menjadi pribadi yang cerdas secara empati untuk melihat kebenaran sejati di sekeliling tempat kerja Anda.
Pesan yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah jangan terlalu kaku untuk mempertahankan kebenaran versi Anda di tempat kerja, coba kembangkan wawasan Anda seluas mungkin untuk memahami kepentingan dan kebenaran versi orang-orang lain. Sebab, pekerjaan yang Anda lakukan tidaklah berdiri sendiri, tapi didalamnya ada hak dan kepentingan para stakeholders yang mungkin berbeda sikap dan persepsi dengan Anda.
Kebenaran tidak selalu akan menjadi benar. Kebenaran yang penuh risiko berbahaya pasti akan menjadi hal tersulit untuk diungkapkan. Apalagi bila kebenaran yang Anda pikirkan itu tidak menguntungkan siapa pun.
Yang perlu selalu Anda pahami adalah kekuasaan yang kuat bisa merekayasa kebohongan menjadi kebenaran, atau bisa merekayasa ketidakjujuran menjadi jujur. Oleh karena itu, sikap Anda di tempat kerja harus diperkuat dengan wawasan yang luas, yang penuh empati dan toleransi, untuk membuat kebenaran versi stakeholders tetap menjadi rahasia perusahaan yang tabu untuk dibicarakan.
GCG – Keunggulan Dewan Direksi Dan Dewan Komisaris
Posted by DJAJENDRA

“Good Corporate Governance Lahir Dan Berkembang Sebagai Respons Terhadap Kegagalan Korporasi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Dan Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Para Stakeholders.” – Djajendra
Salah satu fungsi utama dari good corporate governance adalah membangun tata kelola perusahaan yang efektif dan dinamis. Diperlukan keunggulan dewan direksi dan dewan komisaris untuk memiliki integritas, transparansi, akuntabilitas, dan kemampuan berkomunikasi dengan semua pihak, agar kinerja dan prestasi perusahaan dapat mencapai hasil terbaik.
Peran dan tugas dari direksi dan komisaris menjadi sangat penting di dalam dan di luar perusahaan. Hal ini mengharuskan direksi dan komisaris wajib memiliki kualitas dan kompetensi untuk menjalankan peran dalam fungsi perencanaan, operasional, monitoring, strategik, evaluasi, dan pengawasan dengan efektif. Bila tidak memiliki kualitas dan kompetensi, maka implementasi good corporate governance berpotensi menjadi bad corporate governance.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus bekerja dengan sepenuh hati dan tepat waktu, dengan wawasan yang diterangi oleh pikiran dan perasaan positif. Sikap sepenuh hati, tepat waktu, pikiran dan perasaan positif akan menciptakan integritas untuk mengatur perusahaan dalam rangka untuk memaksimalkan kinerja organisasi dan bisnis perusahaan.
Masa depan tata kelola perusahaan yang bersih, jujur, profesional, dan efektif terletak pada niat dewan direksi dan dewan komisaris. Sebab, kedua dewan tersebut memiliki kekuasaan dan kekuatan tertinggi di dalam semua aspek organisasi, bisnis, dan sumber daya perusahaan.
Perlu dipahami, konsep good corporate governance lahir dan berkembang sebagai respons terhadap kegagalan korporasi dalam mengatasi krisis ekonomi dan kejahatan yang dilakukan oleh para stakeholders. Oleh karena itu, dewan direksi dan dewan komisaris wajib memiliki kualitas integritas di semua aspek kehidupan. Artinya, harus menjadi orang-orang yang jujur, bersih, cerdas, terbuka, profesional, dan efektif; agar good corporate governance bisa berjalan sesuai semangat dan prinsip nya.
Integritas dewan direksi dan dewan komisaris untuk bekerja sesuai undang-undang, peraturan, dan praktek bisnis yang beretika dan bermoral, akan menentukan kesuksesan perusahaan dalam menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance dengan berkualitas. Bila integritas hilang, maka jangan berharap good corporate governance bisa menyemangati aktivitas perusahaan.
Tanggung jawab tertinggi dalam pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance terletak di pundak dewan direksi dan dewan komisaris. Artinya, dewan direksi dan dewan komisaris tidak boleh melepas tanggung jawab kepada karyawan. Dewan direksi dan dewan komisaris harus bertindak sebagai poros utama untuk menegakkan semua aspek pendukung good corporate governance dengan sempurna dan berkualitas.
Dewan direksi dan dewan komisaris harus bekerja keras dan efektif untuk mempromosikan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, integritas, profesionalisme, kepatuhan pada undang-undang dan peraturan kepada setiap karyawan dan manajer; agar para karyawan dan manajer mampu bekerja dengan berkualitas untuk memaksimalkan dan memakmurkan kekayaan stakeholders melalui integritas dan reputasi yang terpuji.
SUMBER: www.djajendra-motivator.com
CONTOH TULISAN GCG
Artikel:
GOOD CORPORATE GOVERNANCE:
Berhasilkah Diterapkan di Indonesia?

Tanggal: 23 Oktober 2003
Judul Artikel: GOOD CORPORATE GOVERNANCE: Berhasilkah Diterapkan di Indonesia?
Topik: Behavior Accounting

ABSTRACT
This research try to explore wether the good corporate governance concept (GCG) can be implemented by the companies listed in Jakarta Stock Exchange (JSX), especially the companies which listed in the Good Corporate Governance Index. Good corporate governance is a concept emphasizing the importance of (1) the user right of financial statement to get the information acuratly and timely (2) the company management liability to provide the information acuratly and perform the company fundamental value. Thus, the earnings management which mislead the user of financial statement is contrary with the GCG concept. The test can provide evidence that the implementation of GCG in Indonesia can not give the result significantly. It is indicated that there is no difference of the discretionary accruals mean value before and after the implementation of GCG significantly.

Keywords: good corporate governance, earnings management, discretionary accruals.

Pendahuluan
Dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir konsep good corporate governance (GCG) sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat (Sulistyanto & Lidyah, 2002). Konsep ini diharapkan dapat melindungi pemegang saham (stockholders) dan kreditur agar dapat memperoleh kembali investasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan penyebab krisis ekonomi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, adalah (1) mekanisme pengawasan dewan komisaris (board of director) dan komite audit (audit committee) suatu perusahaan tidak berfungsi dengan efektif dalam melindungi kepentingan pemegang saham dan (2) pengelolaan perusahaan yang belum profesional. Sehingga penerapan konsep GCG di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders.

Good corporate governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparans terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder (YPPMI & SC, 2002). Atau secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan (Beasly et al., 1996). Chtourou et al. (2001) juga mencatat prinsip GCG yang diterapkan dengan konsisten dapat menjadi penghambat (constrain) aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

Rekayasa kinerja yang dikenal dengan istilah earnings management ini sejalan dengan teori agensi (agency theory) yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (principles) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada profesional (agents) yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha (YPPMI & SC, 2002). Namun pemisahaan ini mempunyai sisi negatif, keleluasaan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung pemilik perusahaan. Kondisi ini terjadi karena asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk memonitor tindakan manajemen (Richardson, 1998; DuCharme et al., 2000). Rekayasa ini merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkannya (Healy & Wahlen, 1998; DuCharme et al., 2000). Sehingga secara prinsipil manipulasi ini tidak sejalan dengan semangat GCG.

Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan. Selain itu, kewajiban penerapan prinsip GCG seharusnya mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang dipublikasikan. Maka atas dasar uraian tersebut dan sejalan dengan penelitian Chtourou et al. (2001), penelitian ini ingin menguji apakah penerapan prinsip GCG mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan yang diukur dari keberhasilan ditekannya upaya rekayasa yang dilakukan manajemen.

B. Perumusan Masalah
Secara empiris terbukti bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan menjadi constrain bagi aktivitas rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen. Secara teoritis rekayasa yang dikenal dengan istilah earnings management ini bertujuan untuk menyesatkan pemakai laporan keuangan yang ingin mengetahui kinerja perusahaan dan untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi. Rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya keterbukaan, akuntabilitas, dan transparansi informasi yang akurat dan menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sehingga penerapan prinsip GCG di Indonesia sebenarnya diharapkan juga mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang tercermin dari menurunkan tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen. Maka berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitiaan ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada perbedaan antara rekayasa keuangan sebelum dan sesudah penerapan prinsip-prinsip good corporate governance?

C. Tujuan Penelitian
Rekayasa kinerja sebenarnya merupakan fenomena yang logis karena kesuperioran manajemen dalam menguasi informasi seputar perusahaan dibandingkan pihak lain. Namun dalam kerangka economy recovery, rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG) yang menekankan pentingnya akurasi dalam melaporkan informasi mengenai perusahaan. Keakuratan ini penting agar informasi yang disampaikan dapat menggambarkan nilai fundamental perusahaan yang sesungguhnya, sehingga pemakai laporan keuangan dapat membuat keputusan yang lebih tepat. Sehingga dari uraian tersebut penelitian ini bermaksud menguji dan mencari bukti empiris apakah penerapan prinsip GCG di Indonesia telah memberikan hasil yang menggembirakan yang ditinjau dari turunnya tingkat rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen ketika melaporkan kinerjanya. Atau dengan kata lain, ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip GCG.

D. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pemakai laporan keuangan memberi kesempatan dan mendorong manajemen bersikap oportunis dengan memperbaiki profil laba akuntansi (Richardson, 1998; Chambers, 1999). Sikap oportunis ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG), karena rekayasa keuangan mengakibatkan informasi yang disampaikan menjadi tidak akurat dan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sikap oportunis ini dinilai sebagai sikap curang (fraud) manajemen yang diimplikasikan dalam laporan keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice (Beneish, 2001). Sikap curang tersebut didefinisikan sebagai satu atau lebih tindakan yang disengaja yang didesain untuk menipu orang lain yang menyebabkan kehilangan kekayaannya (financial). Keberhasilan dari sikap ini dinilai ketika manajemen berhasil menyesatkan pemakai laporan keuangan dalam menilai perusahaannya.

Walaupun "logis" dilakukan manajemen karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi, rekayasa ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya hak pemakai laporan keuangan untuk memperoleh informasi yang akurat dan kewajiban perusahaan untuk memberikan informasi yang akurat (YPPMI & SC, 2002). Chtorou et al. (2001)-dalam penelitiannya yang menguji apakah praktik corporate governance mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas informasi keuangan yang dipublikasikan-menyimpulkan bahwa penerapan prinsip GCG akan menjadi kendala (constrain) aktivitas earnings management. Penelitian tersebut menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa yang dilakukan manajemen. Beasly et al. (1996) dan Abbott et al. (2000) yang menduga ada hubungan antara penerapan corporate governance dengan berkurangnya kecurangan pada pelaporan keuangan (financial reporting) membuktikan meningkatnya kualitas laporan keuangan karena penerapan prinsip tersebut secara konsisten.

Banyak penelitian yang menguji hubungan antara karakteristik komite audit (committee audit) dan dewan komisaris (board of directors)-syarat penting daalam GCG-dengan upaya earnings management sebagai ukuran keberhasilan penerapan prinsip GCG (Chtourou et al., 2001). Carcello & Neal (2000) dengan menguji proporsi independensi komite audit (committe audit) menyimpulkan adanya hubungan positif antara komite tersebut dengan berkurangnya tekanan manajemen terhadap komite audit pada saat menyusun laporan keuangan. Independensi komite audit merupakan salah satu ukuran penerapan prinsip GCG selain kompetensi dan aktivitas komite audit. Sehingga dapat dikatakan bahwa independensi komite audit mempunyai hubungan positif dengan level rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen (Westphal & Zajac, 1997). Sejalan dengan kesimpulan tersebut, Dezoort & Salterio (2001) juga menyimpulkan bahwa komite audit akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap rekayasa yang dilakukan manajemen.

Sementara dengan menguji kompetensi anggota komite audit, McMullen & Randghun (1996) menyimpulkan adanya hubungan positif antara kompetensi tersebut dengan menurunnya kemungkinan dilakukannya earnings management. Atau dengan kata lain, semakin kompeten komite audit akan semakin mengurangi kemungkinan praktik rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen.

Selain komite audit, dewan komisaris (board of directors) juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable. Sehingga secara teoritis keberadaan dewan ini akan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Sejalan dengan hal tersebut Beasly (1996) dan Abbots et al. (2000) menguji apakah besarnya dewan komisaris (board size) mempunyai hubungan yang positif dengan kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Penelitian tersebut tidak menemukan hubungan antara kedua hal tersebut, karena semakin besar dewan direktur semakin tidak efisien dan semakin lemah kontrolnya terhadap manajemen. Lebih lanjut dewan komisaris yang independensi secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Beasly (1996) juga menemukan hubungan negatif antara besarnya non-executif members dengan tingkat kecurangan tersebut. Sehingga secara singkat dapat dikatakan ada hubungan negatif antara proporsi independensi dewan komisaris dengan level manipulasi yang dilakukan manajemen. Demikian juga kompetensi dewan komisaris yang mempunyai hubungan negatif dengan level manipulasi tersebut. Atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris, semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Maka berdasar uraian di atas, hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

H: Ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance.

E. Metode Penelitian
1. Sampel dan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan keuangan (annual report) tahun 1995-2000 perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah multiple purposive sampling, dengan kriteria: § Perusahaan yang masuk dalam daftar Corporate Governance Perception Index (CGPI), yaitu daftar yang dibuat oleh The Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG). Pemilihan sampel penelitian dari daftar ini karena perusahaan-perusahaan ini mempunyai pemahaman yang baik dan telah melaksanakan prinsip-prinsip GCG. § Perusahaan non-lembaga keuangan, dengan tujuan untuk mengantisipasi kemungkinan pengaruh regulasi tertentu yang dapat mempengaruhi variabel penelitian.

TABEL 1
Sampel Penelitian

Identifikasi Perusahaan Jumlah
Perusahaan yang masuk dalam daftar CGPI 52
Perusahaan lembaga keuangan (9)
Data laporan keuangan tidak lengkap (19)
Jumlah Sampel 24
Sumber: data sekunder diolah, 2002.

2. Definisi dan Pengukuran Variabel
Penelitian ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Discretionary accruals merupakan selisih antara total accruals dan nondiscretionary accruals. Sedangkan total accruals merupakan selisih antara net income dan cash flow from operations. Total akrual dipecah menjadi komponen discretionary accruals dan nondiscretionary accruals dengan menggunakan modified Jones model (Dechow et al.,1995). Model ini dipakai karena paling baik dalam mendeteksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen dan memberikan hasil paling robust (Guay et al., 1996; Teoh et al., 1997; Rajgopal et al., 1999).

AC = Net income - Cash flows from operations

Current accruals (CA) didefinisikan sebagai perubahan dalam noncassh current assets dikurangi perubahan dalam operating current liabilities atau dihitung sebagai berikut:

CA = D(current assets-cash) - D(current liabilities-current maturity of long-term debt)

Nondiscretionary accruals (NDA) merupakan accruals yang diekspektasi dengan menggunakan modified Jones model. Expected current accruals sebuah perusahaan ditahun tertentu diestimasi dengan menggunakan cross-sectional ordinary least squere (OLS) regression terhadap current accruals dan perubahan penjualan.

Nondiscretionaty accruals (NDA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept untuk perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1
DSales = Perubahan penjualan
DTR = Perubahan dalam piutang dagang

Discretionary current accruals (DCA) untuk sebuah perusahaan pada tahun tertentu dihitung sebagai berikut:

Untuk menghitung discretionary dan nondiscretionary long-term accruals (DLTA dan NDLTA) , harus menghitung discretionary dan nondiscretionary total accruals (DTA dan NDTA). Discretionary total accruals (NDTA) sebuah perusahaan ditahun tertentu dihitung meregresi total accruals (AC) sebagai dependen variabel dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai additional explanatory variable.

Nondiscretionary total accruals (NDTA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
PPE = Gross property, plant, and equipment
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1

3. Metode Analisis
§ Analisis Deskripstif. Untuk mengestimasi nilai NDTAC dan NDCA dilakukan regresi terhadap nilai perubahan penjualan (change in sales), perubahan piutang dagang, dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai variabel independennya. Dari nondiscretionary accruals tersebut dihitung discretionary accruals.

§ Uji Beda. Uji beda dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah diterapkannya prinsip-pinsip GCG untuk mengetahui tingkat penurunan rekayasa yang dilakukan manajemen. Untuk cut off waktu penerapan prinsip GCG digunakan tulisan dalam buku "The Essence of Good Corporate Governance" yang menyebutkan prinsip tersebut diterapkan di Indonesia sejak ditandatanganinya LOI antara Indonesia dan IMF, yaitu tahun 1998 (YPPMI & Sinergy Communication, 2002: 173). Sehingga periodesasi penerapan prinsip GCG dilakukan sebagai berikut:
1. Tahun 1996-1997 merupakan periode sebelum diterapkannya prinsip GCG.
2. Tahun 1998 dipakai sebagai cut off periode penerapan prinsip GCG.
3. Tahun 1999-2000 merupakan periode kewajiban penerapan prinsip GCG.

F. Hasil dan Analisis
Dengan menggunakan modified Jones model untuk memisahkan total accruals menjadi discretionary accruals dan nondiscretionary accruals. Penelitian menggunakan discretionary accruals perusahaan sampel selama lima tahun, yaitu tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) sebagai periode sebelum diterapkannya prinsip-prinsip GCG, tahun 1998 (t) sebagai tahun munculnya kewajiban penerapan prinsip GCG, serta 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) sebagai periode kewajiban penerapan prinsip GCG. Hasil penghitungan discretionary accruals ditunjukkan di Tabel 2.

TABEL 2
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan

t-2 t-1 t t+1 t+2
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Tabel 3 menunjukkan nilai mean dan median discretionary accruals selama periode bernilai negatif. Hal ini merupakan indikasi bahwa rekayasa yang dilakukan manajemen bersifat income decreasing. Kondisi ini terjadi karena kemungkinan besar manajemen bersikap konservatif dalam melaporkan kinerjanya, yaitu dengan mengakui biaya masa depan (future cost) menjadi biaya sekarang (current cost) yang mengakibatkan kinerja lebih rendah dari kinerja fundamentalnya. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa nilai discretionary accruals tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) (-25009.92 dan -222806.60) lebih tinggi dibanding dengan nilai discretionary accruals tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) (-310024.20 dan -331029.60). Penurunan nilai discretionary accruals yang mencolok ini di tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) kemungkinan besar karena pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Tahun 1998 (t) mempunyai nilai discretionary accruals paling rendah, yaitu -376456.40. Hal ini terjadi karena kemungkinan besar pada tahun tersebut krisis ekonomi di Indonesia mencapai puncaknya.

GRAFIK 1
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan

Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Selanjutnya discretionary accruals akan dipecah menjadi dua, yaitu discretionary current accruals-akrual yang dihitung dari aktiva lancar-dan discretionary long-term accruals-akrual yang dihitung dari aktiva tetap. Pemecahan ini untuk mengidentifikasikan apakah rekayasa keuangan yang dilakukan terhadap aktiva lancar ataukah aktiva tetap. Hasil pemecahan ditunjukkan di Tabel 3.

TABEL 3
DCA dan DLTA Selama Periode Pengamatan

t-2 t-1 t t+1 t+2
Discretionary Cuurent Accruals (DCA)
Mean -0.0560 -0.0210 -0.0260 -0.0130 0.0106
Median 0.0000 -0.0210 -0.0110 -0.0510 0.0384
Discretionary Long-term Accruals (DLTA)
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Tabel 3 menunjukkan nilai DLTA untuk semua periode pengamatan selalu lebih besar daripada nilai DCA. Hal ini mengindikasikan manajemen cenderung memilih menggunakan item yang aktiva tetap (dan aktiva jangka panjang) untuk melakukan rekayasanya. Selanjutnya uji beda (t-test) akan dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance pada tahun 1998. Nilai discreationary accruals sebelum penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t-2 dan t-1 (1996 dan 1997). Sedangkan nilai discretionary accruals sesudah penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t+1 dan t+2 (1999 dan 2000). Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 4.

T ABEL 4
Uji Beda Sebelum dan Sesudah Penerapan GCG

p-value t-value
Sebelum-sesudah 0.291 -1.081
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Keterangan : * : Signifikan pada level 0.05 (2 sisi)
** : Signifikan pada level 0.10 (2 sisi)
Hasil pengujian terhadap discretionary accruals menunjukkan discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance tidak berbeda secara signifikan. Nilai p-value 0.291 dan t-value -1.081 mengindikasikan tidak ada perbedaan yang signifikan antara rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip GCG.

G. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mendukung dugaan bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) secara signifikan akan mengurangi upaya rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Namun penelitian ini tidak berhasil membuktikan dugaan tersebut, karena dari hasil uji beda terbukti tidak adanya perbedaan tingkat rekayasa antara sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip tersebut, sehingga bisa disimpulkan bahwa GCG belum berhasil diterapkan di Indonesia. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu yang menguji hubungan penerapan prinsip tersebut dengan rekayasa (earnings management) yang dilakukan manajemen perusahaan, misalnya Beasly (1996), McMullen & Randghun (1996), Westphal & Zajac (1997), Abbott et al. (2000), Carcello & Neal (2000), Chtourou et al. (2001), Dezoort & Salterio (2001). Selain hasil tersebut, hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu (1) manajemen memilih menggunakan item aktiva tetap dan jangka panjang sebagai dasar rekayasa keuangan dan (2) manajemen menggunakan earnings management berpola income decreasing (penurunan laba) untuk melakukan rekayasanya yang diindikasikan dari nilai discretionary accruals yang negatif. Sedangkan setelah tahun 1998, income decreasing yang terjadi kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997-an.

H. Keterbatasan dan Implikasi
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah: (1) data yang digunakan relatif sedikit yang disebabkan peneliti kesulitan memperoleh data dalam jangka panjang untuk perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar Perception Index of Corporate Governance (PICG) dan (2) cut off waktu pemisahan periode sebelum dan sesudah penerapan prinsip-prinsip good corporate governance secara metodologis masih lemah karena menggunakan asumsi. Implikasi dari keterbatasan tersebut adalah (1) menghilangkan pengaruh krisis ekonomi yang mempunyai kemungkinan mempengaruhi variabel penelitian dan (2) membandingkan manipulasi yang dilakukan perusahaan sampel dengan perusahaan yang tidak masuk daaaalam daftar PICG (matched pair design). Selain hal tersebut, penelitian diharapkan dapat dapat menjadi masukan bagi pemerhati dan pembuat keputusan yang berkaitan dengan penerapan GCG di Indonesia.

I. Daftar Pustaka
Abbott. L.J., S. Parker, dan G.F. Peters, 2000, "The Effectiveness of Bluer Ribbon Committee Recommendations in Mitigating Financial Misstatement: An Empirical Studi", Working paper.

Beasly, C., M. Defond, J. Jiambalvo, dan K.R. Subramanyam, 1998, " The Effect of Audit on The Quality of Earnings Management", Contemporary Accounting Research, 15 (Spring).

Beneish, Messod D., 2001, "Earnings Management: A Perspective", Working paper, April.

Carcello, J.V. dan T.L. Neal, 2000, "Audit Committee Characteristics and Auditor Reporting", The Accounting Review, 75 (Oktober)

Chtourou, Sonda Marrakchi, Jean Bedard, dan Lucie Courteau, 2001, "Corporate Governance and Earnings Management", Working paper, April.

Chambers, Dennis J., 1999, "Earnings management and Capital Market Misallocation", Working paper, Desember.

DeFond, Mark L., dan James Jiambalvo, 1994, "Debt Covenant Violation and Manipulation of Accruals", Journal of Accounting and Economics, 17.

Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan dan Amy P. Sweeny, 1995, "Detecting Earnings Management", The Accounting Review, 7(2), April.

Dechow, Patricia M., 1994, "Accounting Earnings and Cash Flows as Measures of Firm Performance: The Role of Accounting Accruals", Journal of Accounting and Economics, (18).

Dezoort, F.T. dan S. Salterio, 2002, " The Effects of Corporate Governance Experience and Financial Reporting and Audit Knowledge on Audit Committee Members' Judgments", Auditing: A Journal of Practice & Theory, 21 (Fall): Forthcoming.

Friedlan, J., 1994, "Accounting Choices by Issuers of Initial Public Offerings", Comtemporery Accounting Research, Summer.

Hall, Steven C., dan William W. Stammerjohan, 1997, "Damage Awards and Earnings Management in The Oil Industry", The Accounting Review, 72 (1), Januari .

Healy, Paul M., dan James M. Wahlen, 1998, "A Review of the Earnings Management Literature and Its Implications for Standard Setting", Working paper.

Kim, Jeong Bong, I. Krisky dan J.Lee, 1993, "Motives for Going Public and Underpricing: New Findings From Korea", Journal of Business Financial and Accounting, 20(2), Januari.

Luhukay, Jos, 2002, "Tata Pamong dan Nilai Perusahaan", Warta Ekonomi, No. 21/XIV/2 September.

Mayangsari, Sekar, dan Murtanto, 2002, "Reaksi Pasar Modal Indonesia Terhadap Pembentukan Komite Audit", Proceeding Simposium Surviving Strategies to Cope With the Future, Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

McCulloch, Brian W., 1998, "Relation Among Component of Accruals Under Earnings Management", Working paper, September.

McMullen, D. A. dan K. Raghundan, 1996, "Enhancing Audit Committee Effectiveness", Journal of Accountancy, 182 (Agustus).

Morris, Richard D., 1987, "Signalling, Agency Theory and Accounting Policy Choice", Accounting and Business Research, Vol.18, No.69.

Perry, Susan E, dan Thomas H. William, 1994, "Earning Management Preceding Management Buyout Offers", Journal of Accounting and Economics, 18.

Rafick, Ishak, 2002, "Menggugat Fungsi Komisaris Independen", SWA, No.15/XVII/15 Juli-7 Agustus.

Richardson, Vernon J., 1998, "Information Asymmetry ans Earnings Management: Some Evidence", Working paper, 30 Maret.

Ritter, Jay R., 1991, "The Long-run Performance of Initial Public Offering", Journal of Finance, XLVI (1).

Simanjuntak, Djisman S., 1999, "An Inquiry Into the Nature, Causes and Consequences of the Indonesian Crisis", Journal of the Asia-Pasific Economy, Vol.4 No.1.

Simanjuntak, Djisman S., 2002, "Good Corporate Governance in Post-crisis Indonesia: Initial Conditions, Windows of Opportunity and Reform Agenda", Working paper.

Sulistyanto, H. Sri, dan Rika Lidyah, 2002, "Good Governance: Antara Idealisme dan Kenyataan", MODUS, Vol.14 (1), Februari.

Sulistyanto, H. Sri, 2002, "Analisis Manajemen Laba Pada Saat Initial Public Offerings: Indikasi Sikap Oportunistik Manajemen", Tesis, Program Pasca Sarjana UGM.

Sulistyanto, H. Sri, dan Meniek S. Prapti, 2003, "Good Corporate Governance: Bisakah Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat, EKOBIS, Vol.4/No.4/Januari.

Teoh, Siew Hong, T.J. Wong, Gita R. Rao, 1997, "Are Accruals During An Initial Public Offering Opportunististic?", Working paper, Juli.

The Business Roundtables (BRT), 2002, "Principles of Corporate Governance", A white paper, Mei.

Sweeney, Amy Patricia, 1994, "Debt-covenant Violations and Managers Accounting Responses", Journal of Accounting and Economics, 17.

Warta Ekonomi, No. 21/XIV/2 September 2002.

Wright, D.W., 1996, "Evidence on The Relation Between Corporate Governance Characteristics and The Quality of Financial Reporting", Working paper.

J. Daftar Sampel
No. Nama Perusahaan Indeks
1 Tambang Timah Tbk. 78.94
2 Astra International Tbk. 77.19
3 Medco Energi International Tbk. 69.94
4 Matahari Putar Prima Tbk. 66.06
5 Kalbe Farma Tbk. 65.19
6 Astra Graphia Tbk. 65.00
7 Dankos Laboratories Tbk. 64.75
8 Komatsu Indonesia Tbk. 59.44
9 Gajah Tunggal Tbk. 51.13
10 Telkom Tbk. 48.94
11 Indosat Tbk. 41.94
12 Barito Pasific Timber Tbk. 37.31
13 PP London Sumatera Plantation Tbk. 36.69
14 Indofood Sukses Makmur Tbk. 35.13
15 Mulia Industrindo Tbk. 33.94
16 Indocement Tunggal Perkasa Tbk. 31.00
17 Tempo Scan Pasific Tbk. 31.00
18 HM Sampoerna Tbk. 28.19
19 Multipolar Tbk. 25.50
20 Budi Acid Jaya Tbk. 22.06
21 Fajar Surya Wisesa Tbk. 21.94
22 Indorama Syntetics Tbk. 19.69
23 Gudang Garam Tbk. 16.69
24 Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. 14.69
Sumber: YPPMI & Sinergy Communication, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar